Bab I - Sebuah Buku Yang Ditemukan (bagian 1)

1.1K 65 12
                                    

"Apa maksudmu?", tanyaku dengan heran.

Dia tidak menjawabku. Dia kembali ke meja belajarnya dan terlihat mengerjakan sesuatu. Aku yang terlanjur ingin tau lalu beranjak dari ranjangku dan mendekatinya. Seraya aku melihat sebuah kertas yang tampaknya telah disobek dari sebuah buku tulis.

"Apa kau menyukai suara harmonika?" Sebuah pertanyaan yang menyelak lamunanku. "Terkadang saat aku sedang jenuh, aku sering bermain harmonika. Apakah itu mengganggumu?"

"Tentu saja tidak. Aku senang dengan harmonika. Tapi, mengapa kamu berkata seperti itu?"

Adrian tidak menjawab pertanyaanku. Dia terlihat sibuk dengan kertasnya. Sejenak kemudian ia memulai pembicaraan. "Menurutmu siapa yang meletakkannya?" Ia lalu menyerahkan kertas itu kepadaku.

Kertas itu terlihat berasal dari buku baru, karena masih tercium aroma khasnya. Ya, aku sering membeli buku tulis sehingga aku bisa membedakan buku baru dan bekas. Tapi entah dengan hal lainnya.

"Bagaimana menurutmu, Meli? Bila kau tidak keberatan dipanggil begitu."

"Tidak!", teriakku. Dia nampaknya sangat tidak sopan terhadapku, dan aku agak kesal mendengar hal itu. Memanggilku 'kak' menurutku sudah cukup sopan. "Tidak sama sekali."

"Kertas baru kan? Diambil dari buku yang baru dibuka dari bungkusnya", kataku.

Dia mengangguk. "Ada lagi?"

"Tidak, aku tidak bisa menebak hal lainnya."

Kertas itu berisikan pesan seperti ini:

'Dear Hilmi tersayang,

'Kamu sangat tidak menyukaiku. Aku benci akan hal itu. Andai kau tau bagaimana perasaan hatiku kepadamu, aku akan sangat senang sekali. Aku benci, sangat benci.

'Tapi tak apa. Aku senang. Aku senang bahwa aku bisa menunjukkan kepada teman-teman bahwa kamu adalah pencuri yang ulung. Aku punya fotomu berada di ruang ganti wanita sedang meletakkan bunga di loker Billa. Aku tak sabar melihatmu dipukuli oleh Jaya karena kau menyukai pacarnya.

'Aku harap engkau menyesal telah membuang diriku. Salam hangat dariku untukmu.'

Surat anak SMA yang aneh. Tidak ada asal pengirim, dan nampaknya diletakkan dekat dengan suatu hal.

"Iya, diletakkan di dekat ranselnya", balas Adrian.

"Ransel!" Teriakku. "Tunggu, bagaimana engkau tau aku sedang memikirkan itu?"

"Aku tidak tau. Aku melihatnya. Kulihat engkau membaca surat tersebut, kemudian beberapa lama engkau berangan-angan dan melihat ke seragamku. Kemudian engkau mencoba mencari-cari di sekelilingmu dekat barang apa surat ini diletakkan kira-kira. Makanya aku memberitahumu lebih dulu."

"Mengesankan! Dan tak masuk akal!", balasku malu.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara dari HP-nya. Adrian lalu menjawab telepon itu dengan pengeras suara.

"Adrian! Adrian! Kau harus segera kerumahku, Adrian! Ada kiriman lagi! Dan kali ini berbeda. Darah!" teriaknya. Ia nampaknya sangat takut, atau terkejut. Aku tak bisa membandingkannya.

"Aku akan kesana. Tapi nanti ya. Aku periksa dahulu suratmu ini", jawab Adrian.

Ia kemudian menutup teleponnya. Adrian yang awalnya terdiam kemudian gembira bukan main. "Yes! Tiga kali pengiriman dan rencanaku berhasil. Ayo Meli sayang, kita pergi!"

Ia menarikku langsung ke depan rumah dan memberhentikan taksi di depan rumah. Kami kemudian masuk ke dalam taksi.

"Aku yakin kau punya pertanyaan", tanya Adrian memecah keheningan.

"Ya. Kemana kita akan pergi?"

"Ke tempat dimana kau tak akan tau." Jawabnya

DEDUCTIONISTWhere stories live. Discover now