Pengen Nangiiiisss!!

110 6 0
                                    

"Kalau Gilang saja percaya sama Ibu, masa Ibu nggak percaya diri sendiri."
(Sederhana ucapannya, tapi terngiang sepanjang masa)

***

Hari ketiga ini berbeda dengan dua hari sebelumnya. Selain karena sudah ada libur, juga karena yang sebelumnya aku belajar dulu baru kerja, ini kebalikannya, kerja dulu baru belajar nyetir.

Dann, aku shock doong pas mamas ganteng (maksudku instruktur) ini datang ke kantor dan langsung bilang, "Yuk, Bu, silakan dibawa mobilnya."

Masih teringat jelas shock therapy dua hari lalu dong, waktu aku lagi enak-enak bawa di lapangan eh disuruh ke jalan. Ya Alloh. Ternyata masih nderedeg. Kali ini karena dari awal sudah disuruh bawa mobil. Dari depan kantor Widi Mandiri.

"Jangan lupa, lampu sen kanan, siapkan gigi satu, putar kemudi ke kanan, tahan rem, maju perlahan."

Mana jalanan lagi rame lagi. Ini siang bolong tauk.

"Jangan ragu-ragu, maju dikit-dikit, kan udah kasih lampu sen."

Ya mangap, kalau aku ragu-ragu. Wong keringet udah segede-gede jagung pula.

"Kemudi diatur."
"Rem-nya jangan lupa."
"Ayo, setirnya ke mana."
"Gas-nya kok hilang."
"Kurang kiri."
"Kurang tengah."

Hingga beberapa kilometer aku masih merasakan dengan jelas keteganganku. Kedua tangan yg memegang kemudi sampai gak bisa luwes gini.

"Jangan kaku, Bu. Pegang kemudinya biasa aja. Maaf, ini ...."
Gilang menyentuh jari-jariku yg saking tegangnya pegang kemudi sampai nggak menggenggam sempurna, alias jarinya menghadap atas semua. Hadeuuhhh.

Mestinya kejadian barusan rada romantis ya, tapi .... huhuhuhu, aku pingin nangiissss.
Apalagi saat mesin mati mendadak di tengah jalan. Yang diklakson orang berapa kali-lah. Ya di pelototin oom gojek-lah. Huhuhu.

"Di situ ada pohon rindang, silakan minggirin mobilnya. Boleh istirahat."

Akhirnya. Aku menuruti kata Mamas, eh maksudku Gilang, menepikan mobil di bawah pohon rindang. Kuambil aqua gelas yang sudah disiapkannya lalu ....

"Arrgghh!! Pingin nangis rasanya."
"Luar biasa ya, rasanya?" Gilang malah tertawa.

"Jadi, aku tu kan tadi lagi buru-buru. Pamit cepet-cepet dari kantor (RS) supaya bisa langsung belajar. Eh, langsung disuruh bawa mobil."
Kata-kataku meluncur tanpa terkendali.

"Jadi, bener-bener situasinya lagi tegang gitu ya." Kata-kata Gilang menyiratkan empati.

"Ibu mau ambil terapi? Kalau mau, boleh ambil terapi."
"Oo, yang terapi takut itu?"
"Iya, bilang aja sama Mbak Nur kalau mau ambil terapi."

Walahh, nama pegawai front office di kantor Widi Mandiri itu, Mbak Nur tho.

"Tapi, gak di kantor sini terapinya. Langsung di kantor pusat, di Morotai."
"Oo, di Morotai?"
"Iya, yang nerapi kan langsung Pak Widi. Gilang mah gak bisa nerapi, Bu."

Oooo. Ternyata langsung ma Pak Widi, kukira sama Dimas. Eh?

Apa siih? Dari tadi nyebut Mas-Mas, tahu-tahu jadi Dimas?
Nah, jadi gini. Sudah kubilang kan, sejak pertama ketemu Gilang, wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Yaitu Dimas. Dulunya Dimas ini teman kantorku, sebelum dia akhirnya pindah kerja. Lebih tepatnya, Dimas ini bosku. Dan sekarang aku bertemu seorang guru yang mengingatkanku pada bosku dulu.

"Wah, tahu gitu kenapa gak kemarin pas libur belajar ya?"
"Karena memang harus dilihat dulu, Bu. Biar tahu ketakutannya di mana. Baru bisa diterapi." Dimas eh Gilang menjelaskan.

Aku ber-ooo bulat.
Gilang bukan Dimas. Jauh berbeda. Walaupun suaranya sama, cara berjalannya sama. Dan juga sama-sama suka bercanda. Maksudku ada saat serius ada saat bercanda. Kalau lagi bercanda ya lucu, kalau lagi serius, keliatan banget dewasanya.

Tapi Dimas mana pernah menyebut diri dengan namanya, pasti gue-elo. Lain banget sama Gilang.

By the way, aku memang tidak mengatakan hal ini padanya. Tapi dari mulutku sudah mulai meluncur cerita selanjutnya.

"Tahu nggak, aku tuh perlu waktu lumayan lama untuk memutuskan ambil kelas mengemudi ini. Sampai-sampai konsultasi ma terapisku dulu."

"Oya?"
Ups. Aku menyebut kata "terapis", nanti Gilang salah paham lagi. Ntar disangka aku bangsanya orang kelainan apa gituu, sampe ke terapis segala. Orang awam kan kebanyakan suka nge-judge gitu. Hahaha.

Aku berdehem.
"Jadi gini, kan dia tu seperti pakar parenting gitu ya. Pertama kali aku ketemu waktu acara di sekolahan anakku. Rupanya Bapak itu tu bisa menganalisis berdasarkan sidik jari. Jadi, setelah kedua anakku dicek, gantian aku juga. Dan ternyata banyak sisi lain yang baru aku ketahui setelah kepala tiga ini lho."

Widih, bisa lancar gini ceritanya. Belum lama kenal ni cowok, padahal.

Aku melanjutkan.
"Jadi, pas ketemuan tu ya, awalnya Bapak itu nanya, 'ke sini naik apa? Bawa mobil ya?' Gitu nanyanya. Aku jawab, kan, 'kan aku gak bisa kendaraan'. Trus Bapak itu bilang, bisa kok, kalau Ibu belajar. Aku bilang, iya, aku pingin ambil yang ada terapi takutnya. Trus kata Bapak itu, belajar aja dulu, gak usah terapi dulu, saya yakin Ibu malah gak butuh terapi takutnya. Gitu katanya."

"Bener kok, yang dia bilang." Gilang mengiyakan.

"Soalnya kata Bapak itu, aku tu condong otak kiri. Apa-apa berdasarkan logika. Jadi asal aku tahu caranya ya aku pasti bisa."

Nama pakar terapis yang kumaksud adalah Pak Eko, founder de Most. Dikenal juga sebagai pakar sidik jari. Dia tak hanya bisa mengenal karakter seseorang berdasarkan sidik jari, bahkan melalui foto pun bisa diterka dgn tepat. Luar biasa.

"Ya memang seperti itu, Bu. Kalau udah tahu caranya, Ibu pasti bisa! Tapi kita kebalikannya, ya. Gilang mah otak kanan."

Aku tertawa. Luar biasa jauh lebih rileks dari sebelumnya.
"Yuk, jalan lagi kita."

Aku menurut. Hilang sudah rasa grogi yang tadi. Kepercayaan diriku bangkit kembali. Seiring hal itu, bawa mobilnya juga bisa lebih smooth. Mesin pun gak berulang kali mati seperti tadi.

"Ini better, jauh lebih baik dari yang pertama kali tadi."
Aku tersenyum.

Pelajaran mengemudi berlanjut hingga kira-kira dua jam.
"Okay, pinggirin mobilnya. Gantian. Biar Ibu bisa istirahat."

Aku menurut. Sama seperti kemarin, Gilang turun dan aku pindah ke kiri.

"Luar biasa, ya, belajar nyetir ini aku bisa belajar empati. Slama ini enak-enak aja duduk di kiri. Gak tahu kalau bawa mobil itu pegel banget kakinya. Pantes suami juga bilang gini, enak ya tidur di mobil, katanya."

"Iya, Bu. Enak banget emang tidur di mobil."

Kami berdua tertawa. Aku menarik napas lega sekali lagi. Saat itu kusadari kepercayaan diriku sedang bertambah dan tak terasa aku sudah semakin membuka diri.

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Where stories live. Discover now