Bolehkah Kita Menjadi Saudara?

64 3 2
                                    

"Kamu tahu, nggak? Kalau aku nanti benar-benar bisa nyetir sendiri, aku akan jadi orang pertama dalam keluargaku yang bisa bawa mobil."

***

Aku lelah sekali. Kemarin anggap-anggap pergi seharian ya. Pagi belajar nyetir, siangnya terapi, eh langsung lanjut kerja. Mana badan lepek gak mandi, pegel-pegel banget lagi. Huhuhu.

Tapi aku lega sekali setelah terapi. Surprise karena Pak Widi tahu banget cuma dari liat muka, padahal kenalan juga belum. Iya, maksudku di bagian dia menyebutku baperan dan banyak masalah itu. Busyet, tahu dari mana coba? Kenalan aja belum.

"Hari ini kita ke mana?"
"Nanti Gilang ajak ke daerah Kemiling, ya."

Pagi itu, aku sudah siap membawa kendaraan Widi Mandiri, dengan Gilang di sebelah kiriku. Hmm, jadi ingat dengan WhatsApp-ku semalam.

"Oya, kok WA-nya dijawab gitu doang?"
"Ya, itu kan, lagi mikir artinya."
"Oo..."

Udah ah, nggak usah bahas lagi. Aku konsentrasi bawa mobil aja, deh.

Jadi gini ....
Sepulangku dari terapi dan langsung ke kantor, aku terbersit sebuah ide yang kuungkapkan semalam melalui WA.

"Will you be my little brother?"

Sounds sweet? Bukannya tanpa alasan sih. Aku memang ngerasa nyaman dengan Gilang. Karena dia sudah membangkitkan kepercayaan diriku. Bahkan di saat aku belum percaya pada diri sendiri, dia sudah percaya bahwa aku bisa. WA yang tadinya ragu-ragu kukirimkan pun cuma dijawab "hmm," doang sama Gilang.

Oya, aku bener-bener gak nyangka lho kalau di suatu hari aku bisa bawa mobil sambil bercanda, ketawa-ketawa seperti yang kulakukan saat ini. Kukira bawaannya bakal tegang mulu. Hahaha.

"Eh, anak itu lucu banget, jadi inget yang di rumahku," ujarku saat melihat seorang ibu sedang menggandeng seorang anak lelaki yg sepertinya seusia anakku.
"Oo, yang itu, ingat anaknya, ya?" tanya Gilang yang langsung kujawab iya.

Oya, aku juga menceritakan hasil terapi yang kemarin pada Gilang.
"Hebat bener ya, Pak Widi, padahal aku juga belum ngomong apa-apa lho, tapi dia sudah bisa bilang kalau aku ini baperan parah. Busyet."
"Luar biasa memang Pak Widi, gak ada orang yg seperti beliau."

Kami memasuki sebuah perumahan yg lumayan sempit jalannya, cuma pas dua mobil mepet, kiri dan kanan.
"Nah, jalan pelan-pelan di sini, ya."

Gilang menginstruksikan belok ke kiri, belok ke kanan, dan aku mengikutinya.
"Ayo, harus cepet putar setirnya. Ini sama dengan pelajaran zig zag kemarin."
"Iya sama. Tapi kemaren resikonya cuma nabrak pembatas. Lah, ini nanti nabrak rumah orang piye?"
Menanggapi komentarku, Gilang hanya tersenyum.

Lumayan banget adrenalinnya hari ini, busyet. Nggak kalah menegangkan waktu mengemudi di malam hari, mengemudi tanjakan, turunan, dan di saat hujan deras. Wah, ternyata aku sudah belajar sejauh ini, ya?

Semua ini rasanya gakkan bisa kulalui tanpa seorang instruktur yang telah percaya padaku sepenuhnya. Yg membangkitkan kepercayaan diriku itu. Tetap woles meski aku hampir-hampir nyerempet dan nggak ngagetin.

Pelajaran berlanjut, lumayan lama kami berkeliling di perumahan rapat-rapat. Selama mobil berjalan, tetap dipertahankan gigi satu. Yang penting pelan-pelan, gesit mutar setir, dan fokus. Walau kadang-kadang aku masih kurang gesit muter kemudi, tapi Alhamdulillah bisa teratasi dgn baik. Karena masih ada sang instruktur di sisiku.

Okay, lepas sudah kami dari perumahan rapat-rapat di Kemiling. Saatnya berlega hati kembali.

Baiklah, segini sudah cukup. Rasanya aku gak mau muluk-muluk, pingin jadikan instrukturku ini spti saudara sendiri, atau bahkan jodohin sama keponakan, jadi spti apa adanya sekarang ini udah cukup. Like teacher and student. I think it's enough.

"Kamu tahu, nggak, Dek. Kalau setelah ini, aku benar-benar bisa bawa mobil, dalam artian bisa bawa sendiri tanpa instruktur, aku akan jadi orang pertama dalam keluargaku yang bisa bawa mobil."

Mendengar pernyataanku yg tiba-tiba itu, Gilang tampak sedikit terkejut.
"Oya? Wah, bagus dong, berarti!"
"Iya, Dek. Sebab kami tuh sekeluarga punya persamaan, sama-sama gak PD, mau nyoba apa-apa, udah takut duluan."

Aku menarik napas, menahan sesak yang muncul tiba-tiba di dada.
Semua itu benar. Aku mempunyai masalah dengan kepercayaan diri.

Aku minderan parah dari dulu, lebih suka menyendiri ke mana-mana. Aku seringkali merasa seperti produk gagal, yang cuma bisa tambah usia, tanpa berkembang kemampuan. Bahkan, aku dulu sempat tak ingin menikah seumur hidup, kalau bukan karena suamiku yang meyakinkanku pada akhirnya.

Saking parahnya gangguan kecemasan ini, aku sampai mencari-cari seorang terapis. Sempat juga ingin konsul dengan psikolog, namun sulit untukku membuka diri, terutama bila belum merasa nyaman.

Jangankan mau nyaman ma orang lain, menatap mata lawan bicara pun, seringkali aku sungkan. Sampai entah berapa orang yang mengira aku sombong.

Baru kemudian pada tahun 2016, pertama kalinya aku memberanikan diri mengikuti pelatihan online. Iya, kurasa kalau melalui online, lebih mudah untuk membuka diri. Coba bayangkan, setelah punya 2 anak, aku baru bisa ambil keputusan. Aku gak mau selamanya gitu-gitu aja.

Pelatihan pertama yg kuikuti bernama Mindfulness Parenting, yang digawangi oleh Pak Supri Yatno, berfokus untuk menjadi orangtua yg baik. Lanjut pelatihan berikutnya, seperti Writing for Healing dan Self Parenting (menjadi orangtua bagi diri sendiri).

Untuk pelatihan offline, baru tahun inilah aku mencoba. Berawal dari bertemu Pak Eko, founder de Most dan pakar analisis sidik jari di sekolah anakku. Awalnya anak-anakku yang aku mintakan dites sidik jarinya. Lama-lama, aku berpikir, ah, kenapa aku gak coba juga untuk diri sendiri? Jangan malu sama usia, gak ada kata terlambat kok.

Dan terbukti, aku sangat berlega hati sudah mengikuti tes sidik jari. Dari situ aku tahu, aku punya reflek yang baik, motoriknya bagus, makanya aku akhirnya berani ambil kursus mengemudi. Beberapa point ini juga aku ceritakan sebagian ke Gilang.

Ah, sudah cukup, deh, aku cerita tentang diri sendiri. Yang pasti, bahkan kegiatanku ikut kursus mengemudi ini pun tidak diketahui selain oleh suamiku, juga ibuku yang wajib tahu, karena beliaulah yang menjaga kedua anakku di rumah.

Bagaimana dengan teman-temanku? Mana ada yang tahu. Mereka tahunya aku ada perlu kalau kebetulan datang terlambat ke kantor atau izin pulang cepat.

Kulanjutkan mengendarai mobil perlahan hingga akhirnya sampai di rumahku. Nggak ada kendala yang berarti, toh, aku menyetir masih didampingi sang instruktur. Instruktur yang sudah kuanggap sebagai saudara.

"Okay, makasih, ya, Dek. Oya. Aku pokoknya panggil kamu tetep Adek ya," ujarku sebelum turun dari mobil.
"Ya, silakan. Masa dipanggil Mas, nanti jadinya Dimas."
"Walaaah, Dimas lagi yang dibahas."

No. No. Aku dah lama gak liat dia sebagai orang yg mengingatkanku sama Dimas. Karena mereka berdua memang begitu berbeda karakter.
Sudahlah, aku tak perlu jawaban atas pertanyaanku padanya. Just let it be like water flows.

12 Hari di Balik Kemudi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang