Astaga, Ya Tuhan! Semoga Dennis tidak bisa membaca pikiran!

"Kak!" Ellias berseru sambil merangkul tubuh Ellen yang mendadak limbung. "Apa dia benar-benar tidak menyakitimu?"

"Ki—kita pulang sekarang," kata Ellen lemah sambil berusaha menegakkan tubuhnya yang mendadak lemas.

***

"Kak, kau baik-baik saja? Apa dia melukaimu? Tadi aku melihat kalian berdiri sangat dekat."

"Apa tadi benar-benar Dennis Anthony?"

"Iya."

"Astaga!"

"Kak! Apa dia benar-benar tidak menyakitimu?"

"Ki—kita pulang sekarang,"

Dennis mengemudikan pick-upnya dengan perasaan geram yang kian meningkat. Hatinya terluka mendengar pembicaraan wanita itu dengan lelaki yang menghampirinya setelah Dennis pergi.

Dia tidak bermaksud menguping. Tapi rak yang didatanginya setelah mengambil saus berada tepat di samping kedua orang itu berada hingga tanpa bisa dicegah Dennis mendengar pembicaraan mereka.

Memang apa yang salah dengan dirinya? Apa salahnya punya masa lalu kelam dan bekas luka mengerikan di wajahnya?

Brengsek!

Sebenarnya dia kenapa? Bukan sekali ini Dennis mendengar obrolan buruk tentang dirinya. Tapi mengapa yang sekarang sangat mengganggu? Apa karena wanita itu orang asing yang sepertinya hanya datang berkunjung ke kota ini lalu dengan seenaknya menghakimi Dennis melalui tatapannya?

Dengan kemarahan yang tak kunjung reda, Dennis mengemudi ke arah sungai besar tempat dirinya dan Henry memancing sejak pagi. Mereka mendapat empat ekor ikan besar hari ini, dan bertekad menikmati ikan tangkapan mereka hanya berdua. Lagipula istri dan mertua Henry tidak menyukai ikan sungai. Jadi mereka tidak perlu membagi hasil tangkapan mereka.

Beberapa meter dari sungai, jalannya mulai menurun dan berbatu. Dennis turun dari mobil dan berjalan kaki sambil membawa kantong kresek berisi belanjaannya tadi.

"Kau lama sekali. Aku sudah membersihkan ikannya," gerutu Henry begitu melihat sosok Dennis.

"Kau terdengar seperti pria tua yang kelaparan," ejek Dennis.

"Memang. Roti isi tadi pagi sama sekali tidak mengenyangkan."

"Lucu sekali kau bilang begitu setelah menghabiskan tiga tangkup roti isi. Pantas saja perutmu semakin membuncit."

Henry menunduk lalu mendesah sedih menyadari kebenaran kata-kata Dennis. "Sepertinya besok aku harus membantumu mencari kayu."

"Tidak. Kau lamban seperti keong."

"Hei, dulu aku yang paling gesit mengejar pelaku kejahatan."

"Dulu."

Henry berdecak malas karena kalah bermain kata.

"Tidak perlu memasang tampang sedih begitu karena ucapanku benar. Kau siapkan bumbunya biar aku yang menyiapkan kayu bakar."

"Hhh, oke."

***

Wajah Ellias berbinar melihat cheese cake yang sudah tersaji di atas meja pantri. Beberapa kali dia menelan ludah saat aroma keju menguar memenuhi hidungnya.

"Kak, aku sudah boleh mencicipinya, kan?" tanya Ellias penuh harap.

Ellen yang masih sibuk memindah masakannya ke piring dan mangkuk berkata, "Kau boleh memakannya setelah makan siang."

"Sedikit saja," pinta Ellias memelas.

Ellen berdecak. "Diminta bantu berbelanja dan memasak susahnya minta ampun. Tapi giliran makan..."

Ellias nyengir, menampakkan keseluruhan gigi putihnya. "Aku mau makan ini saja untuk makan siang."

"Tidak. Cepat atur meja makan lalu panggil Ibu dan Ayah," perintah Ellen tegas yang langsung diangguki Ellias tanpa gerutuan. Jelas cheese cake sangat ampuh menjinakkan Ellias.

Ibu Ellen bukan seorang yang pintar memasak. Mungkin karena biasa memiliki pelayan hingga dia jarang memasuki dapur. Berbeda dengan Ellen yang sejak kecil selalu penasaran bagaimana Bibi Missy—pelayan di rumah orang tua Ellen—bisa menyulap sayuran hijau dan daging mentah menjadi masakan yang lezat. Tak heran jika Ellen sangat akrab dengan Bibi Missy. Bisa dibilang dia guru memasak Ellen.

Siang ini, Ellen bersikeras memasak sendiri tanpa bantuan. Karena itu dia memberi uang kepada Bibi Missy dan dua pelayan lain untuk berlibur hingga petang hari nanti.

"Oh, aku baru ingat Ibu dan Ayah masih keluar sebentar. Tapi mereka akan segera kembali," kata Ellias.

"Semoga mereka tidak lupa aku memasak lalu makan siang di luar," desah Ellen.

"Itu tidak akan terjadi. Mereka tidak mungkin melewatkan makan siang buatan koki handal."

Ellen tergelak.

"Oh ya, Kak. Tentang Dennis—"

Seketika tubuh Ellen menegang ketika nama Dennis disebut.

"Lain kali jika bertemu dengannya, jangan terang-terangan menunjukkan raut ngeri begitu. Sebaiknya kau pura-pura tidak melihat lalu menyingkir. Bagaimana kalau dia tersinggung karena tatapanmu lalu memutuskan membunuhmu diam-diam?"

Ucapan Ellias membuat Ellen terkejut. Dia buru-buru menghampiri sang adik lalu menatapnya serius. "Apa seperti itu tatapanku pada Dennis tadi? Tampak ngeri?"

"Ya, tentu saja. Karena itu aku memperingatkanmu."

Ellen menepuk keningnya sendiri dengan raut frustasi. Pantas saja Dennis terlihat amat kesal. Dia pasti merasa tersinggung.

Sepertinya Ellen harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya.

--------------------------

~~>>  Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now