Dennis melakukan semua itu hanya mengandalkan insting. Memastikan kegiatannya tidak merusak hutan dan mengira-ngira kayu seperti apa yang bisa dijual. Sebenarnya sama sekali tidak sulit. Yang membuat pekerjaan ini sulit karena orang yang menjalaninya memikirkan upah kecil yang tidak sepadan dengan kerja kerasnya. Mungkin karena ada keluarga yang harus dinafkahi dan faktor lainnya. Sementara Dennis hanya hidup untuk dirinya sendiri.

KRAAK!

Suara patahan kembali terdengar. Selesai membelah kayu terakhir yang dikumpulkannya hari ini, Dennis mengeluarkan sapu tangan di saku belakang celana jins belelnya lalu menyeka keringat.

"Dua hari ini lumayan terang. Pantas kau berhasil mengumpulkan banyak kayu bakar."

Suara yang amat familiar itu membuat Dennis menoleh. Dia tersenyum kecil sambil meneguk air langsung dari botolnya. "Tapi kayu-kayu ini jadi tidak berguna di cuaca cerah seperti sekarang."

Lelaki yang baru datang mengusap rambut berubannya seraya terkekeh. Lalu tanpa permisi dia masuk ke teras rumah Dennis dan duduk di salah satu dari dua kursi kayu yang mengapit meja kecil di tengahnya.

Lelaki itulah yang bernama Henry. Dulunya dia salah satu polisi di penjara tempat Dennis terkurung selama tiga tahun. Mungkin karena sikap Henry yang sabar dan seperti seorang ayah, membuat Dennis akhirnya luluh dan membiarkan lelaki itu menjadi temannya.

Keluarnya Dennis dari penjara bersamaan dengan masa pensiun Henry sebagai polisi. Kota kecil ini adalah kampung halaman istri Henry. Dia memilih pulang ke sini atas permintaan sang istri. Apalagi dua anak mereka sama-sama sudah berkeluarga hingga tak membuat Henry cemas jauh dari mereka.

Saat Henry menceritakan pada Dennis ke mana dirinya akan menghabiskan waktu setelah pensiun, tak disangka Dennis meminta agar diizinkan ikut serta. Dia bahkan tak membuang waktu untuk pulang ke rumah.

Untuk bagian itu, sebenarnya Henry kurang setuju atas keputusan Dennis yang menolak menemui keluarganya. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Dennis bukan anak kecil yang perlu diatur-atur. Lagipula siapa yang tahu apa yang baik untuk dirinya selain orang itu sendiri?

"Aku tidak mendengar suara mobilmu," gumam Dennis seraya duduk di kursi yang lain. Botol minumannya ia letakkan di meja antara mereka. "Kau mau minum? Aku masih punya whisky."

Henry berdecak. "Ternyata kau masih punya banyak uang untuk membeli minuman keras."

"Tidak banyak yang kubeli. Tapi aku mendapat uang tiap hari. Jadi uangku menumpuk. Yah, setidaknya sampai mereka kelebihan kayu bakar dan tidak sanggup membeli lagi."

Henry hanya menggeleng pelan sambil tersenyum geli. "Apa kegiatanmu hari ini?"

"Tidak ada yang berubah," sahut Dennis tak acuh seraya menyandarkan punggung di kursi kayunya.

"Cobalah berkencan."

"Tiap akhir pekan aku masih rutin mendatangi rumah bordil."

"Ckckck, kau ini. Maksudku benar-benar berkencan. Bukan hanya sekedar mendatangi seorang perempuan, buka celana, lalu pergi."

"Hei, aku tidak melakukan itu. Mana mungkin setelah buka celana aku langsung pergi?" Lalu Dennis menyeringai geli melihat raut kesal Henry. "Baiklah... baiklah... aku mengerti maksudmu."

"Kalau begitu lakukan!"

"Tidak berminat." Dennis mengibaskan tangan. "Percuma kau terus berceramah tentang hal itu. Apa tidak ada pembicaraan yang lebih menarik? Misalnya di mana aku bisa berjudi untuk melipatgandakan uangku dengan cepat?"

"Atau menghabiskan uangmu dengan cepat," gerutu Henry. "Aku sudah cukup kesal karena terpaksa membiarkan rumah bordil itu terus berdiri kokoh. Jangan menambah masalah dengan ide tentang tempat berjudi."

Mata Dennis berkilat geli. Henry termasuk polisi baik yang tidak bisa menoleransi pelanggaran hukum. Rumah bordil termasuk yang tidak bisa ia toleransi namun kali ini Henry terpaksa hanya diam. Dia sama sekali tidak memiliki wewenang untuk menghancurkan tempat itu dan tampaknya kepala polisi di sini sudah disogok pemilik rumah bordil.

"Pikirkan segi positifnya. Orang-orang sepertiku jadi punya tempat pembuangan dengan adanya rumah bordil itu."

Plak!

"Hei!" Dennis mengaduh sambil menggosok belakang kepalanya yang baru saja dipukul Henry.

"Kau pikir wanita-wanita itu tempat sampah?"

Dennis hanya angkat bahu tanpa menanggapi.

"Apa tidak ada gadis sini yang menarik perhatianmu?" tanya Henry kemudian.

"Sama sekali tidak. Kalaupun ada, gadis itu pasti langsung kabur begitu aku menyapa."

"Bagaimana kau tahu jika belum mencoba?"

"Aku tidak tertarik mencoba."

Henry mengerutkan kening, memikirkan wanita di kota itu yang mungkin bisa menarik perhatian Dennis. "Bagaimana kalau Ellen? Kata istriku dia sudah dikenal sebagai gadis tercantik di kota ini sejak kecil."

Dennis tersenyum sinis. "Lucu sekali ada gadis tercantik yang belum punya pasangan dan mau denganku."

"Dia baru pulang setelah enam tahun menempuh pendidikan dan bekerja. Dia akan di sini selama beberapa minggu lagi. Mungkin kau bisa memikatnya."

"Wow, sepertinya kau tahu banyak tentang wanita ini. Apa mungkin kau yang tertarik padanya?"

"Makanya jangan terus-menerus di dalam rumah. Pergi keluar dan bergosip. Para lelaki lajang di sini sedang berlomba-lomba menarik perhatian Ellen. Sudah cantik, anak orang kaya, dan koki berbakat. Lelaki mana yang tidak mau padanya?"

"Aku tidak."

Akhirnya Henry hanya bisa mendesah pasrah mendengar jawaban tegas Dennis.

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Där berättelser lever. Upptäck nu