Ellen bukan anak tunggal. Dia memiliki adik lelaki yang kini sudah kuliah semester dua. Tapi lucunya, Ellen yang paling manja. Bahkan dia tidak merasa malu merengek pada sang adik agar keinginannya terpenuhi. Jadi wajar kalau keinginannya memilih perguruan tinggi yang jauh dari keluarga membuat semua orang cemas. Mereka ragu apa Ellen si anak manja bisa mengurus diri sendiri di tempat jauh dan bukannya langsung menangis pulang di hari pertama.

Tapi ternyata Ellen sanggup dan kini pulang dengan hati puas karena tinggal beberapa langkah lagi untuk mewujudkan mimpinya menjadi koki ternama.

Ya, itu impian Ellen. Menjadi koki handal. Dia juga ingin memiliki kelas memasak sendiri. Hatinya selalu mengembang bangga dan penuh semangat tiap kali membayangkan akan memiliki banyak murid di kelasnya dan semua orang selalu menunggu resep baru darinya.

Masa depan Ellen tampak amat cerah karena bakat memasaknya memang sudah terlihat sejak masih kuliah. Perguruan tinggi yang dipilihnya juga terkenal karena telah melahirkan banyak koki-koki berbakat.

Lulus kuliah, Ellen langsung diterima menjadi koki di salah satu restoran ternama. Setelah dua tahun berlalu, Ellen mendapat kesempatan untuk tampil di salah satu acara memasak di stasiun tv internasional. Ini kesempatan langka dan tidak akan Ellen lewatkan. Meski itu berarti dirinya akan sangat sibuk untuk beberapa bulan ke depan karena acara ini selalu melibatkan menu makanan di berbagai tempat, bahkan keluar negeri. Itu sebabnya Ellen mendapat satu bulan penuh untuk bersantai sejenak.

Ya, tentu saja. Satu bulan penuh untuk bersantai. Bukannya dipenuhi sosok lelaki teramat jantan yang membuat jantung Ellen menggila hanya karena memandang dari kejauhan.

***

KRAKK!

Suara kayu terbelah mengiringi ayunan kapak yang dilakukan Dennis. Seumur hidup dirinya tidak pernah bekerja kasar seperti ini. Itu sebabnya Dennis butuh waktu lama hingga terbiasa membelah kayu untuk dijadikan kayu bakar lalu dijual ke pasar.

Kota kecil tempat Dennis tinggal dekat daerah pegunungan. Wajar saja jika hujan lebih sering turun dan udaranya amat sejuk. Bahkan sering kali sangat dingin meski tidak sedingin musim salju. Kayu bakar menjadi salah satu kebutuhan terutama saat aliran listrik mati dan penghangat ruangan tidak berfungsi. Hal itu semakin sering terjadi karena sekarang cuaca ekstrem tengah melanda daerah ini.

Setahu Dennis, penjual kayu bakar di kota ini hanya empat orang termasuk dirinya. Tiga lainnya tidak bekerja sendirian karena menjelajah gunung mencari kayu untuk ditebang saat cuaca tak menentu sangat berbahaya. Namun Dennis sama sekali tak memedulikan tingkat bahaya saat tak ada lagi yang ingin dia gapai dalam hidup. Bisa dibilang, kini Dennis hanya menikmati waktu sendiri. Mungkin sampai ajal datang menjemput.

Tidak ada gairah hidup.

Kalimat itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Dennis. Dia menjalani hari demi hari hanya agar bisa makan dan minum serta mengisi waktu. Dia bahkan sama sekali tidak berniat bersosialisasi.

Dennis memilih tinggal di kaki bukit berada tepat di sisi pegunungan yang tidak ditinggali penduduk lain. Jaraknya dari jantung kota sekitar sepuluh kilometer. Tapi setiap pagi dia selalu mengendarai mobil pick up rongsokan pemberian Henry untuk menjual kayu bakar lalu mencari sarapan dan mengisi persediaan makan siang dan makan malam.

Sekembalinya dari pusat kota, waktu dihabiskan Dennis untuk menyusuri pegunungan dan memilih kayu yang siap ditebang. Atau sekedar memunguti ranting yang sudah mengering.

Ah, sebenarnya kata menebang kurang tepat untuk menggambarkan yang dilakukan Dennis. Dia hanya memotong dahan pohon lalu membawanya ke rumah untuk ia kapak menjadi belahan kayu yang lebih kecil agar mudah dikeringkan.

His Eyes (TAMAT)Where stories live. Discover now