Part 8

621 28 4
                                    

/Sekuntum Janji/
#SJ_8
by Eva Liana
Belum editing

Mau konsultasi, malah disuruh mikir sendiri. Arka meninggalkan masjid dengan kening mengerenyit.

Langit membiru cerah, dan matahari bersinar ramah, saat langkahnya berhenti di depan bangunan pesantren putra.

Rumah kakeknya telah direnovasi. Pagar dan gerbangnya masih dipertahankan, tapi sudah bersih dari patung-patung berikut sisa-sisanya. Termasuk lantai dan pintu kayu jati. Namun halamannya yang cukup luas telah berlapis keramik. Dijadikan aula terbuka untuk ceramah umum. Makam nenek di halaman itu, disekat tirai yang ditopang empat batang tongkat.

Bangunan rumah dikembangkan bersayap. Ada tambahan di kiri dan kanannya. Berkapasitas lima puluh santriwan.  Sebuah bangunan kecil lain tampak di dekat masjid. Itu adalah rumah Ustadz Harun.

Arka tersenyum puas. Ia telah menggapai impiannya. Sejak SMP kepingin mondok tapi tak kesampaian. Sekarang Allah malah memberinya anugerah rizki untuk membangun pondok pesantren sendiri.

Lima tahun sudah pesantren berjalan. Santri ada yang mondok, ada pula yang pulang pergi. Pesantrennya menerima semua kalangan. Prioritas adalah anak-anak warga desa yang belum pernah mengecap pendidikan karena kejumudan orangtuanya. Di pesantren tak hanya diajarkan agama, tapi juga tulis baca dan pengetahuan umum lainnya.

Arka telah mendatangkan khusus tim pengajar yang digaji tinggi. Penghasilannya dari berbagai investasi usaha, lebih dari cukup untuk membiayai operasional pesantren. Sementara para santri, tidak dibebani biaya di luar kemampuannya. Jadi orangtua mereka dipersilakan infak seadanya.

Namun Arka tak menutup pintu sumbangan dari rekan-rekan bisnisnya atau pejabat aghniya kenalannya yang merasa terpanggil untuk menjadi donatur pesantren tersebut.

Santri di sini, yang berusia baligh, diajari pula keterampilan dan mengembangkan usaha di bidang pertanian. Untuk itu, Arka dan sahabatnya Apeng, terjun khusus sebagai tim pembimbingnya.

Saat sedang termangu begitu, mata bagus Arka menangkap sosok sahabatnya, Apeng, yang melangkah setengah melompat-lompat dari lereng gunung.

"Arka!" panggil Apeng tanpa basa basi. Setibanya di depan Arka, dengan napas ngos-ngosan, langsung memberi info.

"Kamu udah dapat kabar nggak dari Zain?"

"Oh, belum. Aku memang lagi nunggu kabar darinya. Gimana hasilnya?" sambut Arka antusias.

"Tender proyek usaha perkebunan sawit gol di daerah Daha Barat! Kita sukses!" Mata Apeng berbinar. "Zain nelpon bada ceramah subuh tadi, pas kamu ngobrol sama ustadz!"

"Bagus!" Senyum Arka mengembang. Bisnisnya telah melebarkan sayap merambah usaha perkebunan. Zain, adalah tangan kanannya di Kalimantan. Tepatnya di daerah Hulu Sungai Selatan. Dari dulu ia tahu betul potensi sahabat sekost-nya itu. Tangan dinginnya setara dengan Apeng. Bedanya, kalau Apeng mahir di bidang teknis administrasi dan iptek, maka Zain ulung di bidang negosiasi dan pembacaan peluang bisnis. Pengembangan sektor perkebunan sawit, adalah idenya. Tidak sia-sia Arka mempercayakan bisnisnya di Kalimantan pada sobatnya yang banting setir dari kontraktor ke agrobisnis itu.

"Tapi ... menurut Zain, kamu sebagai owner, kudu berangkat ke sana. Supaya bisa meninjau lokasi langsung dan ngobrol dengan pengusaha joinan kita."

"Ke Kalimantan?" Arka menghirup udara dingin. "Nggak bakalan ketemu Dayak, 'kan?"

"Ya Alloooh, Bro, zaman gini kamu masih takut sama orang Dayak?" Apeng menunjukkan tampang meremehkan. "Dasar kurang gaul. Sekarang nggak terhitung orang Dayak yang sarjana, Bro! Yang ngaji Islam juga banyak! Gadis-gadis Dayak muslimnya juga cakep-cakep. Siapa tau kamu nanti kegaet gadis Dayak!" Apeng cekikikan sendiri.

Sekuntum Janji Where stories live. Discover now