Siapa dia? Jericho menatap muka perempuan yang baru saja memasuki gudang dimana dia disekap. Dia cantik, tingginya tidak lebih dari Jericho, badannya biasa saja, rambutnya hitam panjang. Dia seharusnya terlihat imut. Tapi Jericho tidak akan mengakuinya, karena curiganya, si perempuan ini adalah dalang dari penculikannya ini.

"Apa maumu?" Tanya Jericho langsung.

Perempuan itu menoleh dan mendekati tubuh Jericho yang masih posisi berlutut di lantai dengan kedua tangan diikat. "Mauku?"

Perempuan itu tersenyum. "Membunuhmu."

Nah! Jericho tidak pernah meragukan firasatnya.

"Aku ingin sekali melihatmu mati tersiksa, Jericho-san."

Jericho menaikkan sebelah alisnya. Apa salahnya sampai perempuan ini begitu menginginkan kematiannya? Bertemu dengan perempuan ini saja belum pernah.

"Aku ingin sekali menyiksaku sampai mati!" Nadanya meninggi. Suara cemprengnya membuat telinga Jericho berdengung sesaat. "Kau! Kau telah membunuh keluargaku!!!! Kau iblis! Kau tidak akan pernah pantas menjadi ksatria suci!! Bahkan kau tidak pantas hidup! Darah dan jiwamu sudah kotor!!! Kau membunuh banyak orang, kau seorang iblis!!!!"

PLAK!

DUG!

Perempuan itu menampar pipi, menjambak rambut dan menghantamkan kepala Jericho ke dinding belakangnya. Sebegitu bencinya perempuan ini pada Jericho.

"Putri Alin, tenangkan diri anda." Celetuk salah satu laki-laki saat melihat Alin —perempuan itu, hendak memukulkan kembali kepala Jericho ke dinding.

Jericho tak sempat mencerna kata-kata Alin. Kepalanya pening luar biasa. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengalir dari kepalanya hingga ke tengkuknya. Ia yakin itu darahnya. Perih dan pusing, serta pedas di pipi.

"Sia—lan!" Umpatnya tertahan.

Alin melepas genggamannya pada rambut Jericho dengan kasar, hingga beberapa helai rambut Jericho ikut tercabut. Semakin terasa perih. Jericho mencoba menahan rasa itu, memejamkan mata sebentar lalu menatap berani ke arah Alin.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Aku tidak pernah tau siapa keluargamu dan....." Jericho tidak akan menyangkal kalau dia pernah membunuh orang. "....aku tidak tau siapa saja yang sudah aku bunuh."

"KEPARAT!!!" Perempuan itu menjambak rambut belakang Jericho, tepat di luka hasil benturannya.

"Akh!"

"Kau memang seharusnya mati secepatnya! Tapi tenang, aku tidak akan membiarkannya mati cepat. Membunuhmu secara perlahan terdengar lebih menyenangkan dan memuaskan dibanding membunuhmu dengan sekali tusuk." Alin melepas jambakannya. "Untuk kali ini, aku hanya akan memberikan luka kecil itu untuk pembukaan. Selamat menikmati."

Alin terlihat seperti sedang merapalkan sesuatu dengan bahasa yang belum pernah Jericho dengar.

"—double pain."

"AKKKHHH!!!!"

Jericho merasakan luka di kepalanya seperti membuka dan terbakar. Panas dan perih. Kulit kepalanya terasa panas dan pedas seperti baru saja dikeramasi dengan cabai. Tangannya seperti mati rasa, namun terasa sangat pegal. Pipinya pedas seperti baru ditampar oleh 10 orang.

Astaga ada apa ini??? Jericho terus mengerang kesakitan hingga menangis tak tahankan.

"Rasakan itu." Alin membersihkan tangannya dari helaian rambut Jericho. Ia melihat Jericho yang sedang tersiksa, tersenyum tipis lalu memutar badannya. "Tenang saja, itu hanya ilusi dan hanya kan bertahan selama....24jam? Mungkin." Setelah mengucapkan itu, Alin melenggang pergi dengan muka puas.

Sial-sial-sial!!!!

***

"Aku tidak melihat Jericho di manapun." Ucap King setelah seharian mengelilingi desa itu.

"Aku juga. Bahkan aku berkeliling hingga keluar desa." Ucap Diane murung. "Tidak mungkin Jericho bisa pergi dari kawasan ini dengan cepat."

"Aku juga tidak bisa mendeteksi hawa keberadaannya." Ucap Merlin.

Semuanya diam. Kalau Merlin sampai turun tangan dan tetap tidak menghasilkan apapun, itu artinya, sesuatu yang buruk terjadi.

Semua orang yang ada di bar, termasuk Hawk, dari pagi hingga sore ini berkeliling untuk mencari Jericho. Tetapi tidak termasuk Ban.

Ban sibuk. Dia sibuk memandangi wajah Elaine yang masih tertidur dengan tenang. Entah sampai kapan peri kecilnya itu akan tertidur seperti ini.

"Oi, Ban!" Meliodas masuk ke kamar Elaine dengan tidak sopannya. Lagipula, untuk apa dia harus sopan, toh bar dan segala luar di dalam bangunan ini adalah miliknya dan Hawk Mama, tentu saja.

"Ada apa? Kalau membahas dia, aku malas." Ban sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Elaine. Takut kalau saja dia berpaling, Elaine akan hilang.

Meliodas terkekeh. "Tidak-tidak. Yang lain memang sedang memikirkan dia, tetapi aku tidak. Aku ke sini, untuk.....menjengukmu."

Ban kali ini terpaksa menoleh, memandang kaptennya dengan bingung. Di ruangan ini, yang sedang terkapar di kasur, Elaine, kenapa malah dirinya yang dijenguk?

"Apa kau mendoakan aku agar aku sakit?"

Meliodas mengangguk. "Ya. Kalau bisa sekalian mati."

Ban terkekeh. Mati? Tidak akan. Mau berapa kali dia dibunuh-diracun-dicincang atau diapakan yang membahayakan nyawa juga, dia tidak akan mati. Dia abadi. Undead Ban.

Meliodas berjalan mendekat. Ia melirik Elaine yang masih belum sadarkan diri. Dia tidak mengada-ada soal 'menjenguk Ban' itu memang yang sedang dia lakukan. Ban mungkin terlihat segar bugar dengan wajah yang tak pernah bosan menatap Elaine. Ban juga dalam kondisi yang sehat. Tetapi tidak ada yang tau, seperti apa di dalam hati Ban.

Sebenarnya Meliodas sedikit meragukan isi hati Ban. Ban punya hati atau tidak saja, Meliodas ragu setengah mati. Tapi melihat betapa bahagianya dia bertemu dengan wanita pujaannya dan bahkan sempat merasakan berpetualang bersamanya, itu sedikit membuktikan Ban punya hati.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Meliodas dengan tatapan polosnya.

Ban menyerngit. "Hah? Apa kau buta, Kapten? Aku sedang duduk."

"Oh. Lalu, apa kau ingin makan??"

Ban semakin tidak mengerti dengan kaptennya. "Ada apa dengan otakmu?"

"Hmm, kira-kira menu makan malam kita apa ya??"

"Oii—?"

"Kalau kau tidak mau masak, maka aku saja yang memasak." Meliodas mengangguk dengan antusias. Dia seperti sedang bangga dengan idenya sendiri.

"Kubunuh kau kalau sampai menyentuh bahan makanan!"

Meliodas melipat kedua tangannya di belakang kepalanya dan berjalan keluar dengan langkah santai. Sesampai pintu, ia berhenti sejenak. "Setidaknya.....keluarlah sebentar untuk menghirup udara segar." Lirihnya, lalu kembali melangkah.

Ban tercengang.

Kapan terakhir Meliodas mengamuk?
Apa ada sesuatu yang fatal terjadi sampai-sampai dia sok peduli begitu?
Mungkin ada syaraf yang keseleo di otaknya?

Ban tersenyum tipis. Begitulah Meliodas, tidak pandai merangkai kata, blak-blakan, to the point, dan peduli. Mungkin dia iblis paling kejam dan hebat, tetapi di sisi lain, Meliodas adalah orang paling bertanggung jawab atas teman-temannya.

Tidak ada apapun di antara teman-temannya yang luput dari perhatiannya.

ENOUGHWhere stories live. Discover now