Bab 2

990 91 16
                                    

4 Oktober 2018, Palu- Seharusnya aku sudah menginjak tanah Palu pada pukul 12.00 tadi malam, Nay. Tapi, kapal tidak bisa merapat. Aku keluar dan bertanya ke beberapa relawan lain, ternyata ada banyak sekali kapal-kapal lain yang mencoba mendekati Palu dari arah laut. Kami harus antre karena situasi agak kacau.

Pelabuhan masih belum sepenuhnya berfungsi, beberapa peralatan masih rusak dan stasiun penambatan entah di mana. Kabar dari anjungan kapal, sang kapten kebingungan memastikan arah navigasi karena semuanya tidak lagi pada tempatnya. Itulah sebabnya, meski aku sudah bersiap-siap akan turun karena mendengar suara peluit, tapi kapal tak kunjung ditambatkan (kayaknya lebih mudah menambatkan hati aku ke kamu, Nay, Sungguh! ).

Jadi, kami menunggu, Nay. Aku berdiri di haluan bersama dengan seorang wartawan asing, Nay. Namanya Bo Atkinson. Dia jurnalis dari BBC News. Asli Inggris (kamu tahu, kan? Setiap ketemu orang aku nanya asli mana?) Dia bertanya-tanya sedikit tentang Palu, aku hanya mengatakan, satu-satunya yang kutahu dari Palu adalah wakil walikotanya adalah Pasha Ungu.

"Vocalist become a deputy mayor? Interisting!" Bo manggut-manggut.

Kami terus bercakap-cakap hingga gelap mulai memudar. Perlahan-lahan, seiring dengan munculnya fajar dan kemudian matahari, kami akhirnya melihat apa yang terjadi pelabuhan Pantoloan.

Kerusakannya amat-amat parah, Nay. Dermaga pelabuhan memang masih ada, tetapi semua bangunan di sana, rusak berat. Jalanan penuh dengan sampah sisa tsunami. Derek yang biasa dipakai untuk mengangkat kontainer ke kapal tersungkur ke bawah seperti dilipat tiba-tiba oleh tangan raksasa. Ada beberapa kapal yang terhempas ke darat, naik hingga ke dermaga bongkar muat, beberapa menyundul atap bangunan di sana. Di bawahnya, berserakan: batang pohon, daun pintu, antena parabola, kipas angin, menara dan kabel-kabel yang centang perenang karena tiangnya telah runtuh.

Lebih jauh lagi, aku bisa melihat bangunan-bangunan dengan atap seperti dipapas dari ujungnya: antena patah, rumah tersisa rangka, kubah melesak, dinding-dinding beton hancur, kusen-kusen pintu dan jendela terbuka memperlihatkan rumah-rumah yang kopong. Aku masih bisa melihat senter bersaling-silang di beberapa lokasi.

"Apa yang mereka cari?" ucapku curiga. "Pencuri?"

"Mayat," jawab seorang wanita yang entah sejak kapan telah berdiri di samping kami. "Mereka masih sedang mencari mayat."

Aku tak bisa berkata-kata.

Kami berkubang dalam pikiran kami masing-masing. Begitu sulit berkata-kata, meskipun kami telah melihatnya berkali-kali di televisi dan internet. Apakah begini yang kau rasakan, Nay setiap kali datang ke tempat bencana? Seperti kata-kata sudah tak sanggup menggambarkannya lagi? Udara sudah dirampas oleh duka, dan angin laut membawa rasa asin dari air mata.

Bo akhirnya mengambil gambar dengan kameranya. Dia begitu bersemangat, atau mungkin terlalu terbawa perasaan hingga tak mempedulikan lagi saat aku pamit untuk turun ke bawah. Wanita yang bersama kami tadi juga telah menghilang, mungkin sudah lama turun. Aku tidak begitu memperhatikan lagi, aku pun juga turun dari kapal.

Aku mencoba mengambil gambar dengan kamera ponselku dan mengirimkannya padamu, tapi sinyal ternyata belum pulih. Tak apalah, yang penting sekarang, aku sudah sampai di Palu, Nay.

WENTIRAWhere stories live. Discover now