4

2.4K 51 3
                                    

 Jadi selama ini, ayahku bisa lihat?

Kenyataan itu begitu menusukku. Aku seperti dikhianati. Selama ini. Sejak aku umur lima tahun, sudah bisa melihat, tapi diperlakukan seolah aku ini tukang mengarang. Selama sepuluh tahun. Apa-apa yang kulihat selain dari yang nyata, dianggap gurauan atau hal sepele akibat halusinasi. Aku waras total. Aku tidak halusinasi. Aku menyeka air mata yang mendesak keluar. Aku tak mau menangis. Di kamar aku mondar-mandir dalam kegeraman. Tanganku mengepal. Aku bahkan merasa, para makhluk itu saat ini sedang menertawaiku. Memang tidak nampak, tapi entah kenapa aku merasa begitu.

Aku cukup lama mondar-mandir dalam kegeraman. Hatiku panas dan bergetar. Dengan mondar-mandir kuharap perasaan ditusuk dari belakang ini berangsur-angsur menghilang. Ketika aku tak kuat lagi, mondar-mandir ternyata tidak segera mengurangi rasa kecewaku, aku melempar diri ke kasur. Aku tenggelamkan muka. Sial, dalam kegelapan mata terpejam, sosok ular berbadan manusia itu muncul dalam benak. Reflek aku makin memejamkan mata, justru malah membuatnya makin terlihat jelas. Aku telentang. Menatap langit-langit. Sosok itu menghilang ketika kubuka mata. Hatiku masih terasa ditusuk-tusuk. Aduh. Mungkin kalau teman yang melakukan itu, masih mending. Tapi ini orangtua sendiri. Selama sepuluh tahun aku dianggap membual. Ceritaku dianggap tak nyata. Aku diasingkan oleh orangtua sendiri. Aku butuh penjelasan! Kenapa ayah setega itu?

Aku bangun dari kasur dan menuju jendela. Aku buka lebar-lebar. Dari jendela kamarku, aku bisa melihat lahan kosong dan lahan kerajaan tak terlihat itu dari jauh. Mataku terpaku. Lalu telingaku menangkap sesuatu. Suara tawa. Tawa perempuan. Aku langsung tutup lagi jendelaku.

Sekitar satu jam kemudian ayah mengetuk pintu kamarku. Aku tidak membukakan ataupun menyahut panggilannya. Aku masih kecewa. Aku mau mendiamkan ayah. Walau dalam hati, aku merasa ngeri. Ayah kalau marah seram juga sebenarnya. Tapi kudengar, nada memanggilnya tidak memerintah. Aku tak yakin, kedengarannya seperti membujuk?

Aku tetap diam sampai akhirnya ayah membuka sendiri pintu. Dia melihatku duduk di pojokan tempat tidur, dekat jendela. Aku berusaha tak acuh. Ayah duduk di sampingku, dengan jarak sepenggaris. Ayah hening dulu. Seperti memancingku untuk bicara duluan. Dia menang. Aku tak tahan. "Kenapa, yah?"

Ayah belum menjawab. Dia hanya menarik napas panjang. Diembus perlahan. Duduk sambil tangannya bertaut. Matanya menuju lantai. "Itu demi keselamatanmu, Kang." kata Ayah pada akhirnya. Singkat padat. Terima kasih.

Aku geleng kepala. Perkataan ayah tak masuk akal. "Keselamatanku? Bagaimana itu bisa menjaga keselamatan Kang, yah? Aku tak mengerti."

"Kau memang tidak mengerti."

"Ya coba ayah jelaskan dong. Biar Kang bisa mengerti. Kenapa selama ini Kang merasa seperti terasingkan. Merasa seperti orang gila yang omongannya tak patut dipercaya." aku mengatakan itu dengan cepat. Seperti api menjalar di jalur bensin.

Ayah tampak kaget mendengar aku mencerocos barusan. Kini aku tampak menang. Wajah ayah menampilkan raut bersalah. Ayah buka tutup mulut mau mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Lalu dia menatap lagi ke lantai. Mengambil napas panjang lagi. Mengembuskannya lagi, lebih panjang. "Ayah bingung mau mulai dari mana."

Aku mendengus. "Bisa dimulai dengan minta maaf." kataku, kedengarannya ketus.

"Baik Kang, ayah minta maaf. Ayah minta maaf sudah membuatmu merasa seperti itu. Ayah dan ibu sama sekali tak bermaksud untuk membuatmu terasing. Hanya saja, ayah tak ingin kau terlibat hal-hal seperti itu. Biar cukup berhenti di kakekmu."

Aku diam berpikir. "Jawab dengan jujur, yah. Ayah bisa melihat?"

Ayah mengangguk. "Dulu, waktu seumuranmu. Tapi Ayah bersikeras untuk mengabaikannya. Berusaha menutupnya. Ayah mendatangi banyak kyai untuk ditutup mata batinnya. Ayah tidak kuat. Apa yang ayah lihat dulu, sangat mengerikan. Ayah takut, ayah tak bisa mengendalikannya. Karena kau tahu Kang, yang memiliki kemampuan itu, justru lebih banyak diincar demit. Amit-amit." Ayah mengetuk dengkulnya.

"Sekarang?"

"Ayah sudah menutupnya. Tapi tetap saja. Apa yang diturunkan dari leluhur kita, tidak hilang serta merta. Ayah masih bisa merasakan. Walaupun tak bisa melihat jelas. Apa yang teman ayah bilang itu, benar. Ayah melihat sosok yang sama dengan yang kau lihat, Kang. Tapi melalui mimpi."

"Sama, Yah. Kang melihat sosok ular berbadan manusia itu dari mimpi."

"Semoga kau tidak melihatnya secara langsung."

"Teman ayah tadi melihat secara langsung?"

Ayah mengangguk. "Makanya dia menyarankan ayah mengurungkan niat untuk membeli lahan itu."

Diam agak lama. "Sekarang, ayah percaya padaku kan?"

"Ayah selalu percaya padamu sejak dulu."

"Tapi buktinya tidak ada. Ayah justru membuatku jadi seperti pembohong."

Ayah menaruh tangannya di bahuku. Aku mau menyingkirkannya tapi tidak jadi. Sudah lama ayah tidak menyentuhku begini. "Kadangkala, apa yang kita pikir baik untuk seseorang, belum tentu cukup baik. Bahkan salah besar. Ayah minta maaf. Seharusnya ayah terbuka sejak dulu."

Aku belum bisa mengucapkan kata Kang memaafkan ayah. Belum. "Jadi, bagaimana ini, Yah? Apa Kang harus menutup mata batin ini juga?"

Ayah menggelengkan kepala. "Kata teman ayah, kemampuanmu akan sangat sulit untuk ditutup. Kekuatanmu cukup besar. Teman ayah bilang, tidak ada kyai yang bakal mampu menutupnya. Suatu saat nanti, kau akan punya peran besar."

Jantungku berdebar mendengarnya. Seperti sedang dibacakan ramalan kiamat. "Kang ingin menggunakan kemampuan ini untuk menolong orang."

"Iya. Itu mulia. Tapi ingatlah, kau harus selalu berhati-hati. Kalau kata kakekmu, eling lan waspada. Selalu ingat dan selalu waspada."  

KERAJAAN TAK TERLIHATWhere stories live. Discover now