2

3.4K 64 3
                                    

 Samping rumahku ada tanah kosong. Seharusnya tempat itu sepi kalau malam. Ya mungkin bebunyian serangga malam lah. Tapi nyatanya, tempat itu terdengar ramai. Sialnya, itu hanya terdengar olehku saja. Pekarangan kosong itu dipagari bambu, sebagian sudah lapuk. Ada pohon mangga dan kelapa di sana. Setiap malam, aku sering mendengar adanya kegiatan di sana. Seperti pasar. Berisik.

Aku yang terdorong penasaran, keluar malam-malam untuk mengecek. Tempat itu masih kosong. Dan suara berisik itu tiba-tiba juga lenyap. Saat aku kembali masuk ke rumah, bising lagi. Ini cukup mengganggu.

Aku tidak tahu tanah kosong itu milik siapa. Lama kelamaan, pekarangan itu jadi tempat pembuangan puing dan tidak jarang juga, sampah. Ayah sempat memarahi orang yang ketahuan buang sampah di sana. Bukannya apa, nanti bisa jadi sarang penyakit. Buatku, itu malah jadi sarang demit. Pekarangan itu awalnya masih berupa tanah berumput, kini sudah merata dengan puing bangunan. Dan suara-suara di tempat itu makin terdengar jelas di telingaku setiap malam. Suara tanpa wujud. Bincang-bincang nada statis televisi rusak. Kira-kira seperti itu terdengar olehku. Suara riuh rendah orang banyak bicara dalam satu waktu. Apakah pekarangan itu dijadikan tempat demit arisan?

Apa mungkin, hantu perempuan dan anak kecil juga datangnya dari pekarangan itu? Mengingat beberapa lama terakhir, mereka tak lagi menampakkan diri di rumah. Sampai kupikir aku sudah tak bisa melihat makhluk halus lagi. Sepertinya demikian. Hawa yang kurasakan di pekarangan itu begitu berbeda dengan tempat lain. Di pekarangan penuh puing itu, kurasakan hawa lebih dingin dan pengap. Semacam ada angin, tapi tidak sejuk. Kini, setiap pulang mengaji aku agak berlama-lama di sekitaran pekarangan itu. Aku penasaran. Aku masih ingin membuktikan, apakah benar aku sudah tidak bisa melihat lagi sehingga tinggal indera perasa dan pendengarku saja yang mengenali keberadaan mereka.

Aku berdiri, sekitar tiga meter dari batas pagar bambu pekarangan itu. Aku memejamkan mata, menajamkan telinga. Biasanya, kalau aku hampiri begini, mereka berubah sunyi. Entah permainan apa yang mereka mainkan. Kalau aku menjauh, suara mereka baru muncul. Aku berdiri di sana. Tanpa berniat untuk mengganggu. Kata kakek, "Meskipun kau punya sejuta keberanian. Janganlah kau mencoba mengusik apa pun. Kesombongan hanya akan membuatmu terjatuh."

Belum sampai indera pendengarku menangkap frekuensi suara mereka, ayah sudah memanggilku untuk masuk rumah. Makan malam sudah siap. Baiklah, aku akan coba malam berikutnya.

Malam ini, ada yang beraksi.

Aku terbangun pukul sebelas malam. Kudengar ada suara ketukan pelan tapi pasti dari kaca depan. Aku keluar kamar dan mengeceknya. Aku bergerak dengan jinjit, berharap tak menghasilkan suara sama sekali. Pintu kamar ayah masih terkunci, mereka masih tertidur. Aku bergerak pelan, suara ketukan itu masih berlanjut. Jarak tiga detik. Jantungku berdebar kencang. Rasanya kakiku sudah tak kuat berjalan jinjit lagi. Selangkah mendekati kaca depan, ketukan itu tak lagi ada. Sudah dua puluh detik kutunggu. Aku beranikan menyibak gorden. Aku tengok halaman. Hanya suasana malam. Tapi sial, suara benturan kencang menggetarkan kaca dan mengirimku terjatuh ke belakang. Aku takut kalau kaca depan pecah. Aku lemas. Aku mengintip dari celah jari, di kaca depan, ada muka hitam bermata merah mengintip separuh. Aku langsung lari terbirit ke kamar.

Aku langsung buka alquran dan mengaji di atas tempat tidur. Muka hitam tadi membuatku kaget. Aku sudah terbiasa, bilamana takut, aku baca alquran. Saat hatiku berangsur-angsur tenang. Aku kembali ke depan. Sudah tidak ada suara ketukan. Aku sibakkan gorden perlahan. Aku tengok ke pekarangan penuh demit itu. Samar-samar aku seperti melihat ratusan sosok berkumpul di sana. Di satu titik, di tempat yang seperti ada api sedang dinyalakan, aku melihat sosok yang lebih tinggi. Wujudnya bukan manusia. Makhluk itu tinggi karena ternyata sedang terbang. Mahkota yang dikenakannya, membuatku langsung menyimpulkan. Jelas sudah, pekarangan itu adalah kerajaan demit. Kerajaan yang tak terlihat.

Aku kembali ke kamar dan melanjutkan lagi baca alquran. Apa yang kulihat barusan, membuyarkan konsentrasiku membaca ayat suci. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus memberitahu ayah dan warga sekitar? Atau jangan-jangan warga sekitar sudah pada tahu?

Bagaimana kalau mereka jadi makin rajin menyatroni rumahku? Terutama, menggangguku?

"Jangan takut." Aku pegang nasehat kakek.

KERAJAAN TAK TERLIHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang