“Kenapa aku?” Hanya itu yang bisa kupikirkan. Tak ada hal lain yang terlintas di dalam benak kecuali penyesalan.

Aku sampai di suatu titik di mana aku tak mampu lagi menangis. Telepon genggam tiba-tiba berdering. Itu Ogawa. Ketika aku melihat namanya di caller ID, hatiku segera terisi dengan harapan. Aku tiba-tiba serasa di-charge dengan energi yang bahkan lupa masih memilikinya. Aku tak mengira akan sebahagia ini mendapat telepon darinya.

“Halo!” Aku mengangkatnya secepat mungkin.

“Hei, apa kau baik-baik saja?”

“Tidak ... kondisiku tak begitu baik.” Aku mencoba sebisa mungkin tak membiarkan perasaan menguasaiku, tapi tangisku hampir pecah.

“Oh, seburuk itu, ya?”

Kata ‘buruk’ bahkan tak cukup dekat untuk menggambarkannya. “Hei, bagaimana? Kau sudah menemukan seseorang untuk menolongku?”

Ketika ia tak segera menjawabku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Maaf, tapi aku belum menemukannya. Aku sudah menghubungi beberapa kawan lamaku, tetapi aku belum mendapatkan kabar apa pun.”

“Apa? Jadi apa yang harus kulakukan?” Aku tahu terdengar sangat memaksa dan terdengar egois, tapi aku tak peduli. Dia harus menolongku!

“Tenanglah sedikit, oke? Tak ada seorang pun yang kukenal bisa menolongmu. Namun, mungkin ada seseorang, ia teman dari temanku. Temanku mengatakan ia sangat jago dan ia akan sangat senang menolongmu, tapi ...”

“Tapi?” Aku mulai tak sabar.

“Harganya sangat mahal.” Ia tampak tak enak ketika menyebutkannya.

“Ia minta bayaran?”

“Ya begitulah kata temanku. Bagaimana, kau mau?”

“Berapa?” Sebenarnya aku tak ingin mendengar jawaban Ogawa, sebab ia sendiri terdengar sangat berat untuk mengatakannya.

“Menurut temanku, mungkin sekitar 500 ribu yen [sekitar 59 juta].”

“500 ribu yen? Bagaimana aku harus membayarnya?” Aku memiliki pekerjaan, tetapi mustahil bagiku mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Namun, jika itu bisa melepaskan semua penderitaan ini, mungkin aku tak memiliki pilihan lain. “Baik, di mana aku bisa menemuinya”

“Temanku bilang ia tinggal di Gunma. Aku harus menanyakan pada temanku dimana persisnya, jadi aku akan meneleponnya dan lihat apa yang bisa ia lakukan.”

Percakapan kami pun usai dan aku pergi untuk berdoa di altar kembali. Kalian mungkin masih ingat, pada hari aku tiba, ibu memanggil nenek. Beliau mengatakan bahwa Miss Akagi mungkin akan datang untuk menolongku secepat mungkin. Namun  ada masalah. Beliau sangat sibuk dan sudah sangat tua. Paling cepat beliau bisa tiba di sini 3 minggu lagi. Itu berarti aku terjebak dengan keadaan ini untuk tiga minggu ke depan. Aku tak tahu apakah bisa bertahan selama itu dan semua itu membuat sangat gugup dan ketakutan.

Tiga minggu tanpa kepastian. Aku jelas takkan mampu melaluinya. Paling tidak, tak bisa hanya berdiam diri saja selama itu. Aku harus mencoba melakukan sesuatu.

Ogawa meneleponku kembali sekitar jam 11 malam itu.

“Maaf membuatmu menunggu. Aku harus menunggu temanku meneleponku balik. Ia bilang orang itu bisa datang ke tempatmu besok.”

“Besok?”

“Besok hari Minggu  bukan?” Ogawa terdengar terkejut saat ia tahu aku tak menyadari bahwa ini akhir pekan. Aku pun sama terkejutnya. Sudah lima hari berlalu sejak kami berjumpa terakhir kalinya. Aku bahkan lupa bahwa aku sudah absen selama seminggu dari kantor.

Creepypasta (Mix & Original) Where stories live. Discover now