Dia

3.3K 419 3
                                    

Satu jam kemudian keretaku sudah sampai di Negara, keramaian langsung menyapa kami. Banyak orang berlalu lalang dengan berjalan kaki mengendarai becak dan delman maupun dengan kendaraan Pribadi. disini aku bisa melihat bagaimana pribumi dan londo hidup berdampingan dengan kedamaian.

Aku langsung mengandeng tangan minul dan berjalan menuju andong yang sedang terpakir disalah satu sisi jalan. setelah tawar menawar harga, kamipun berangkat menuju rumah Pakde Tugiran di Keparakan kiwo. 

Keparakan kiwo merupakan salah satu wilayah kesultanan Yogyakarta yang banyak tinggal disana para abdi dalem parakan atau bagian dari abdi dalem yang bertugas untuk melaksanakan pendidikan perang, merekrut prajurit keraton dan mengupayakan senjata.

Rumah Pakde Tugiran dengan joglo khas berdiri kokoh diantara bangunan rumah milih para abdi dalem. halaman rumahnya luas karena jabatannya juga bukan jabatan yang sembarangan dimiliki seseorang. 

saat aku tiba dirumah Pakde Tugiran rumahnya tampak lenggang dan sepi, bahkan kami harus menunggu beberapa saat hingga sapaan kami didengar oleh penghuni rumah. 

"Walah arum, kok ndak bilang kalau mau ke Yoja, tahu begitu bude bisa jemput kamu di stasiun Tugu." Sambut Bude Waginem, istri PAkde Tugiran begitu menyadari aku dan Minul sudah berdiri didepan pintu rumahnya. 

beliau langsung memelukku erat dan mengajakku duduk dikursi yang tersedia di pringgitan.

"Bagaimana kabar ibumu?"

"Baik bude, ini ibu mbawakan beberapa oleh-oleh buat bude." aku segera meng-aba Minul agar menyerahkan beberapa bingkisan dan bahan makanan yang dibawakan ibu untuk keluarga bude. bagaimanapun untuk beberapa hari kedepan aku dan minul akan merepoti keluarga bude jadi ibu memang sengaja membawakan banyak bingkisan agar tidak menjadi beban.

"Kok sepi bude rumahnya?"

Bude Waginem tersenyum simpul menanggapi pertanyaanku.

"lha gimana ndak sepi Rum, Tahu sendiri pakdemu kan banyak kesibukanya, Ya jadi carik juga ngurusi usaha dan sawah. Anak-anak bude juga sudah menikah semua ikut sama suami. Tinggal si Thole yang ikut pakde magang di tempat bapaknya. Mbuhlah Thole  itu, tak suruh nikah biar ada yang nemenin bude. Kurang apa bude, calon udah tak carikan, dari keluarga baik-baik juga. Bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dasar si Thole ada saja alasanya buat nolak sampai kesel bude."

aku hanya mampu tersenyum simpul menanggapi curhatan Bude Waginem. kalau dipikir-pikir seharusnya Trisno - anak lelaki satu-satunya Pakde Tugiran ini bersyukur sudah dicarikan calon istrinya.  Kan katanya laki-laki ndak ada batasan nikahnya. lha aku? ada orang mau ngelamar kok malah ditolaki sama rama.

"Duh bude jadi ngelantur kan. Nah Arum, dengar-dengar juga sudah dilamar ya?"

"Bude dapet cerita dari mana?"

"Dari Pakde Tugiran,  katanya dari pegawainya Bapakmu. Katanya Arum sudah dilamar sama keturunan ningrat."

Aku hanya mampu diam, bingung harus menjawab bagaimana. Huft... bahkan berita ini sudah sampai ditelinganya Bude Waginem dan keluarga. 

"Ndoro, tamunya sudah datang." seorang rewang mendekat ke Bude Waginem. tak lama kemudian sebuah kereta kuda memasuki halaman rumah dan memarkirkannya dibawah pohon sawo kecik.

"Arum masuk kerumah dulu, istirahat dulu bude tak ketemu tamu-nya. pokonya kamu dibetah-betahin ya "

aku mengagguk menanggapi Bude Waginem. untung saja ada tamu itu sehingga tidak perlu berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Bude Waginem. 

Aku dan Minul segera berdiri dan mengemasi barang-barang kami untuk dibawa masuk kedalam rumah. 

Mbak Sekar, sebentar..." 

Minul menahan lenganku saat hendak masuk kebangunan rumah utama.

"Kok sepertinya Minul kenal sama kereta kudanya ya." lanjut Minul lirih

Aku menghentikan langkahku dan mengikuti Minul mengamati kereta kuda yang kini terparkir di bawah pohon sawo kecil tak jauh dari joglo. 

"Mbak Sekar, Itu bukannya Kereta milik Raden Tjandra ya yang dulu pernah datang kerumah?"

TBC





Garwa Kinasih (Istri Kesayangan). End-Where stories live. Discover now