Part 5

4.5K 529 19
                                    

Serius.

Sepertinya makin banyak saja orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Ada yang rusak dengan kemampuan mereka memahami. Loveyna, dengan sisa-sisa kesabaran yang tinggal seujung kuku, tersenyum sopan. "Maafk ya. Aku enggak bisa."

"Coba aja dulu." Anak kelas sebelah itu memelas. "Bagaimana kamu tahu kalau tidak coba? Kenap menolak? Semua orang tahu kamu tidak punya pacar."

Eh, busyet. Loveyna menghela napas. Selain kesulitan memahami bahasa, orang ini sepertinya punya penyakit halusinasi. Siapa yang suka kepadanya? Loveyna tidak pernah sedikut pun menunjukkan sinyal-sinyal merah jambu ala cinta-cintaan. Selama ini, Loveyna tidak pernah duluan menghubungi dia. Cowok ini yang menelepon tidak kenal waktu, bahkan saat malam hari menjelang jam tidur. Loveyna masih meladeni meski kesal setengah mati. Loveyna tidak pernah menunggu dia pulang sekolah. Cowok ini hampir setiap hari tiba-tiba muncul di depan kelas. Loveyna tidak pernah pura-pura tidak sengaja bertemu di akhir pekan seolah segalanya adalah takdir. Jadi mengapa dia bisa-bisanya sampai berkata seperti itu? Kesannya Loveyna yang termehek-mehek kepadanya.

"Kita lebih cocok jadi teman." Cukup sudah Loveyna menjalani adegan ala sinetron ini. Sejujurnya, bahkan berteman dengannya pun sebenarnya Loveyna tidak ingin. Kalau bisa memutar waktu, Loveryna tidak akan memberikan nomor telepon padanya. Kenapa waktu itu Loveyna merasa tidak enak dan luluh pada paksaan cowok ini? Cowok ini berpikir trik berteman, lalu pacaran akan berhasil dengan Loveyna. Hah! Loveyna bukan tipe anak polos yang bisa jatuh ke trik gampangan.

"Kenapa cuma berteman kalau bisa lebih? Nanti kamu pasti menyesal," katanya. "Kamu akan menangis melepaskan kesempatan seperti ini."

Oke. Ini harus dihentikan sebelum berlarut-larut. Jangan sampai khayalan si gila ini terlalu jauh.

Loveyna beranjak. "Mungkin." Semanis mungkin, Loveyna menambahkan. Seharusnya ini cukup untuk menyudahi pembicaraan bodoh ini. "Tapi rasanya mustahil."

"Kamu!" Dia terperanjat. "Dasar...."

Aduh, pikir Loveyna. Dia salah baca situasi. Dari perawakannya, Loveyna mengira cowok ini tipe-tipe lembek yang sekali dibilang tidak, dia akan segera menyingkir. Salah. Seharusnya Loveyna tidak buru-buru ambil kesimpulan. Rupanya, dia termasuk golongan pemaksa. Kalau tahu akan begini jadinya, Loveyna tadi mengajaknya mengobrol di kantin saja. Dilihat banyak orang akan memperkecil peluang si gila untuk banyak tingkah.

"Tunggu. Aku belum selesai."

Loveyna mempercepat langkah menuju lapangan olahraga. Salahku mau saja diajaknya ke pojok lapangan. Siapa... siapa yang bisa menyelamatkannya? Loveyna setengah berlari menuju undakan tempat duduk penonton. Dia celingak-celinguk hingga... Loveyna menemukan seorang cowok duduk sendirian di ujung undakan.

"Hei!" Loveyna merapatkan badan kepadanya. "Numpang sebentar, ya."

"Uh..." Dia mengangkat pandangan dari buku di pangkuannya. Di dekat kakinya tergeletak tas dengan seleting terbuka, menampilkan isi tas yang berantakan.

"Sebentar saja." Loveyna mengiba. Dia melirik melirik sekilas. FISIKA. Judul itu tercetak besar di sampulnya.

"Um..." Menggumam tidak jelas, dia sedikit beringsut menjauh, tetapi tidak mengusir meski tidak mempersilakan. Loveyna menganggap diamnya dia sebagai persetujuan.

"Aku ingin...." Langkah anak tidak tahu diri itu terhenti begitu dia menyadari Loveyna tidak sendirian. Dia bingung antara gengsinya atau cinta ala sinetronnya. "Love, sebentar saja. Enggak bakal lama."

Loveyna menggeleng seraya memeluk lengan siswa laki-laki di sebelahnya. Pegangannya semakin ketat ketika Loveyna merasakan si Fisika tersentak, hendak menjauh. Dari pinggir mata, Loveyna memberi kode-kode agar dia diam. "Nanti saja, ya? Aku ada perlu dengan temanku."

Lo Dan Mo Dan Segala KemungkinanWhere stories live. Discover now