"Ibu tidak pernah mau menceritakannya, bahkan sampai akhir hayatnya." Disza menunduk, tangannnya meraba permukaan jurnal penyelidikan milik Letnan Samsuri. "Aku pikir bisa mendapat jawabannya jika bertemu dengan polisi ini, tapi ternyata ... dia pun sudah meninggal."

Hati Dimas serasa mencelus, seakan dipaksa lepas dari rongganya. Bukan hanya Kapten Depari, Disza pun juga mengatakan hal yang sama tentang Letnan Samsuri. Sejak kemarin Dimas penasaran, bagaimana kronologi kematian Letnan itu, tapi dia sendiri pun tidak tahu harus pada siapa dia menanyakan.

"Siapa nama ayahmu? Aku mungkin bisa membantu mencarikan kasusnya di Asrip Kepolisian."

Dimas ingin tergelak mendengar ucapannya barusan. Soal Letnan Samsuri saja dia serahkan pada Aryan, sekarang dia justru menawarkan bantuan pada gadis ini.

"Haszni Yusuf." Disza menggumam sebentar sebelum berkata lagi. "Sebenarnya aku sudah minta bantuan sama Briptu Aryan."

"Oo?" Dimas hanya bisa mengangguk kaku sembari menggaruk belakang kepalanya.

"Sepertinya kau kenal dekat dengan Aryan." Dimas sedikit memutar topik pembicaraan. Membuat gadis itu senyaman mungkin saat Dimas mulai mendorong kursi rodanya ke ruang interogasi.

Ketika melihat senyum terbit di wajah gadis itu, Dimas sadar sepertinya dia memang tidak punya kesempatan. Disza bilang, Aryan adalah seniornya di sekolah dulu. "Tidak bisa dibilang senior juga, sih," ceritanya agak melantur. Karena sewaktu Disza duduk di bangku kelas dua SMP, Aryan sudah kelas tiga SMA. Mereka tidak begitu mengenal satu sama lain, hanya saja mereka pernah beberapa kali berpapasan di kantin sekolah.

Dimas lalu membuka pintu saat mereka sampai di depan ruang interogasi satu. Dia menuntun Disza Anszani masuk ke dalam. Evan ternyata sudah menunggu di sana. Sesaat kemudian Dimas pun keluar. Buru-buru berderap masuk ke ruang interogasi dua yang letaknya tidak jauh dari ruang interogasi satu, di mana Rudi Ardian dia tinggalkan di sana untuk menyantap makanan.

"Apa kau sudah kenyang?" sentak Dimas sembari menatap pria berkepala pelontos itu. Dia mengetuk-ngetuk meja interogasi dengan bolpen, meminta Rudi Ardian kembali berfokus padanya. Dimas sudah memberi waktu istirahat yang cukup untuk Rudi mengisi perut dengan nasi bungkus.

"Kau ingin ke toilet?" tawarnya, yang sama sekali tidak digubris Rudi.

Dimas melihat Rudi tampak lesu di kursinya. Pikirannya melayang-layang entah ke mana. Pada sesi interogasi sebelumnya, Dimas memang sempat menyentilnya dengan menanyakan, akan dia gunakan untuk apa uang milyaran hasil penjualan lahan tersebut. Dia bilang, dia ingin membahagiakan Rania dan Putri. Setelah menikah nanti, dia akan mengajak mereka tinggal di tempat yang layak. Tetapi rencana bahagia itu tampaknya harus Rudi kubur dalam-dalam. Betapa memalukannya semua ini. Para polisi menggelandangnya saat dia sedang menghabiskan waktu bersama Rania dan Putri dalam apartemen. Rudi Ardian hanya bisa mendesah-desah dengan wajah pasrah. Masa depan yang baru saja ingin dia rajut sepertinya terancam kandas di tengah jalan.

Ingatan Rudi tampaknya sudah siap dikorek. Namun, alih-ali bertanya soal kerangka-kerangka itu, Dimas justru menanyakan perihal Disza Anszani padanya.

"Rudi, kenapa saat berpapasan di koridor, kau berteriak pada Disza Anszani, kalau seharusnya dia sudah mati? Apa kau mengenalnya?"

Dimas menunggu. Setelah sebelumnya menjejali Rudi dengan remahan kue, sudah saatnya untuk memberi hidangan penutup.

"Apa yang kau lakukan pada tanggal 2 Januari mulai pukul sepuluh sampai dua belas malam?"

Bola mata pria itu berputrar-putar di atas langit-langit, berharap jawaban pamungkas untuk pertanyaan Dimas barusan akan dia dapati di sana.

"Disza Anszani di serang pada malam itu di rumah lamamu. Apakah secara kebetulan malam itu kau ada di sana?"

SIGNAL: 86حيث تعيش القصص. اكتشف الآن