Seperti Patah Hati (Lagi)

Start from the beginning
                                    

"Good luck, Rara!" Teriak Maya di balik meja kasir. "Stay strong and keep insane ya! Banyak-banyak baca ayat kursi supaya nggak tergoda bujuk rayu syaiton."

Aku hanya bisa melotot sebal, dan Maya mengikik, tertawa di atas penderitaanku.

Aku berjalan kaki ke kampus. Sengaja kecepatanku di titik minimum, karena aku tidak ingin buru-buru sampai di sana. Di WA group kelompok, Feb sudah berkoar-koar menanyakan aku ada di mana. Kujawab singkat: otw.

Tapi sepelan apa pun aku berjalan, akhirnya aku tiba di sana juga. Kami janjian di kansas, yang sore ini terlihat tidak terlalu ramai. Formasi sudah lengkap, agaknya memang aku yang paling terlambat. Pantas saja Feb jadi cerewet begitu.

Tugas kelompok kami ada dua. Pertama, membaca materi tentang konsep seni dari Charles Dickie dan mempresentasikannya di depan kelas. Hanya membaca textbook dan membuat rangkuman, sekilas hal ini terlihat mudah. Tapi kalau bicara text filsafat semuanya berbeda. Kadang aku butuh waktu dua jam untuk memahami satu paragraf saja. Jujur saja, aku lebih suka pe er 50 soal pilihan ganda seperti di bangku SMA dibanding tugas baca ini.

Tugas yang kedua adalah membuat apresiasi karya seni di mana kami harus memilih satu karya seni untuk dibedah dengan teori yang kami pilih sendiri. Sulit memang. Tapi sejak aku tercebur di jurusan Filsafat, memang nggak ada tugas yang gampang sih.

Ada sekitar 50 halaman text asli berbahasa Inggris yang harus kami baca dan pahami. 50 halaman itu terbagi menjadi beberapa sub bab lagi. Sebagai ketua kelompok terpaksa--karena yang lain tak ada yang mau menjadi volunteer--Feb membagi-bagi tugas.

"Aryani sama Lila ngerjain yang sub bab pertama ya. Bang Langit sama Rara sub bab kedua...Ra, nggak usah protes!" potong Feb bahkan saat aku baru saja membuka mulut. "Gue udah volunteer ngerjain satu sub bab sendiri nih! Kalau mau tukeran, ayok aja!" dengusnya.

Aku mati kutu. Dan juga malu. Kok bisa sih Feb menebak isi pikiranku dengan sangat jitu? Katanya kan cowok itu makhluk nggak peka? Tapi mengerjakan satu sub bab sendiri? Jelas aku ogah!

"Feb, lo tukeran sama gue aja," kata Langit tiba-tiba.

Aku menatapnya, tapi Langit tidak menatapku.

"Lo sama Raira ngerjain sub bab 2, biar gue yang sub bab 3," kata cowok itu lagi.

"Serius lo, bang?" tanya Feb tak yakin. "Sendirian nggak apa-apa? Ada lima belas halaman sih sub bab 3."

Langit mengangguk. "Yes, nggak apa-apa. Gue lebih nyaman kerja sendiri."

Feb menatap Langit curiga, lalu menatapku dan mengerutkan dahi. Tapi kemudian cowok itu mengedikkan bahu.

"Yo wes, kalau gitu kita ngerjain sub bab 2 bareng-bareng ya, Ra," putus Feb.

Aku masih menatap Langit. Tapi cowok itu sama sekali tidak menatapku. Aku tahu pasti, itu tadi hanya alasan. Langit hanya menghindari aku. Di sini, entah bagaimana, emosiku terpantik begitu dahsyat. Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu setelah masalah yang dia buat saat aku bersama Joshua kemarin. Bisa-bisanya dia mengabaikanku?? Menolakku?? Kalau ada yang boleh menolak, itu harusnya aku kan?? Tapi emosi ini...alih-alih marah, aku justru merasa sedih dan sakit. Melihat Langit yang sibuk menggulir ponsel, membuatku merasa tertolak. Nggak diinginkan. Seperti disingkirkan  begitu saja. Aku seperti...bertepuk sebelah tangan dan patah hati lagi.

Aku tidak bisa menahan diriku lebih lama. Jadi dengan alasan mau ketemu teman, aku langsung izin pergi duluan saat diskusi selesai. Sepanjang perjalanan pulang ke kos, air mataku berderai seperti orang sinting. Aku sendiri tak mengerti sedang apa aku ini.

Kala Langit Abu-Abu (TERBIT)Where stories live. Discover now