Sudden Rain

474 0 0
                                    

Hujan baru turun. Ah, Desember. Hujan tak pernah bisa ditebak. Hujan selalu datang mendadak. Tapi yang kemunculannya lebih mendebarkan hati daripada hujan, tentu saja si Alzami. Dia pujaan hati Zuhri.

Cowok tinggi itu tiba-tiba sudah ada disampingnya, basah kuyup, masih dengan seragam sekolah seperti Zuhri.

Zuhri sedang berteduh disitu, di rumah perahu nyaris bobrok yang atap sengnya sudah sangat karatan.

"Numpang neduh disini ya, Zuh."

Sementara Zuhri mengontrol debaran hatinya, Alzami justru tersenyum, yang membuat hatinya (yang sebenarnya adalah jantung) makin berdebar-debar.

"I-iya. Ini bukan gubukku kok. Nyantai aja." Zuhri berkata begitu sementara dia sendiri tidak santai.

"He eh. Tapi kamu udah disini duluan. Ngomong-ngomong dimana Zahra? Biasanya kamu pulang bareng dia."

Ditanyai begitu Zuhri jadi salah paham. Zahra adalah karib Zuhri, mereka seperti saudara kembar walau bapak ibu mereka bukan orang yang sama. Sepertinya Alzami menaruh rasa pada temannya itu. Ah, menyedihkan sekali kisah cintanya.

"Dia duluan tadi Al, ayahnya sakit jadi pulang duluan." terang Zuhri.

Alzami mengangguk-angguk.

Hujan sepertinya belum mau berhenti. Zuhri, sementara itu, diam-diam meremas ujung seragamnya. Hatinya belum mau diajak kompromi. Urusan batin itu selalu rumit. Sakit sekali memikirkan nasibnya yang malang. Ia memang tidak malu mengasihani dirinya.

Zuhri sayang Zahra sebagai teman, itu sudah jelas, tapi persahabatan mereka terasa menyusahkan gara-gara Alzami. Ah, kurang tepat. Ini menyusahkan karena perasaan Zuhri pada Alzami. Ia tidak sadar kalau cowok itu sedang memandangnya ingin tahu sekarang, gara-gara sibuk berpikir.

"Kau ada nomer hape Zahra?" tanya Alzami setelah beberapa saat. 

"Ada, tapi hapeku mati. Aku nggak hafal nomer dia." Ternyata dia cuma ingin minta nomer hape Zahra. Zuhri berusaha bersikap biasa saja. 

Alzami mengangguk kecil. Hujan yang mengguyur turun lebih sedikit.

"Zuh, kalau ketemu Zahra, bilang sama dia kalau aku suka sama kawannya, ya?"

Alzami berkata begitu sebelum berlari menembus gerimis. Zuhri mengangguk lesu. Otaknya tidak memikirkan lebih jauh ucapan Alzami hingga tidak menangkap maksudnya dengan benar.


Di rumah, Zuhri sedang menatap kanvas langit-langit ketika Bundanya masuk kamar.

"Oalah, cah bagus, kenapa kamu? Kalau lapar ya makan, jangan mbesengut terus. Bunda cuma iseng kemaren waktu bilang kamu agak gendutan."

"Patah hati, Nda." kata Zuhri pendek. Sang Bunda pura-pura kaget.

"Wah. Kalau soal itu, Bunda nggak ikut-ikut lho ya. Bunda salah terus soalnya."

"Kalau aku suka sama cowok, apa Bunda bakal marah?" Zuhri bertanya dengan nada datar.

"Ya asal cowoknya nggenah Bunda ya nggak masalah. Tapi tak kira kamu naksir sama Zahra?"

Zuhri diam saja. Hujan turun lagi. 


Esoknya Zuhri melihat Zahra bersama Alzami, dan walau dia sudah mengantisipasi ini, hatinya tetap saja ngilu. Tapi tidak sulit memaksakan senyum. Mereka berdua kelihatan agak kaget ketika bertemu Zuhri, entah kenapa.

"Nanti siang ikut kami? Ada kafe baru di Petekan." ajak Alzami.

Zahra mengangguk-angguk semangat.

Dari keakraban mereka, sepertinya Alzami sudah punya nomor Zahra, entah dari siapa (mungkin minta langsung) dan pastilah mereka ngobrol di Whats App semalaman. Zuhri sebenarnya tahu posisinya akan digantikan oleh Alzami, karena tidak mungkin ia akan akrab dengan Zahra segera setelah dia punya pacar, dan dia mengerti ini dari posisi Alzami. Tapi Zahra? Dia membiarkannya begitu saja? Secepat ini?

Demi persahabatan mereka, Zuhri mengangguk dan menampilkan senyum tulus terbaiknya, karena walau bagaimanapun dia tahu ajakan mereka benar-benar tulus. Meski kalau boleh jujur, dia lebih suka mencuci piring daripada melihat mereka berdua bermesraan.

"Sampe ketemu pulang sekolah kalau gitu." Alzami berlalu ke kelasnya sementara Zahra menyeret Zuhri ke kelas mereka.


Sepulang sekolah hujan lebat turun mendadak. Zuhri jadi punya alasan untuk tidak ikut.

"Lho kok nggak jadi sih, Zuh? Ayo dong. Alzami udah nunggu di kafe. Dia kan mau-" Zahra berhenti begitu sadar apa yang akan diucapkannya.

"Kau saja, Ra. Jas hujannya cuma muat buat satu. Bilang sama dia lain waktu aku pasti ikut." Zuhri sangat sadar bahwa dia tidak jujur.

"Tahu gitu aku nggak usah ikut sekalian tadi." kata Zahra. Dia sepertinya betulan menyesal. 

"Nggak, nggak apa-apa. Kasian si Al kalo nunggu kelamaan."


Di rumah Zuhri benar-benar membantu bundanya mencuci piring, walau ia benci setengah mati melakukannya. Setiap satu piring selesai dibilas ia teringat pada Alzami, dan karena sudah tidak tahan lagi, dia menangis. Dengan gaya maskulin tentunya.

Ini menarik perhatian sang Bunda.

"Bunda 'kan nggak maksa kamu nyuci piring, kalau itu sebegitu memalukan buat harga dirimu. Kenapa, cuma karena nyuci piring, harga dirimu sebagai laki-laki seolah diinjak-injak?"

Zuhri sudah akan tertawa saat ia membilas piring yang lain, tapi kemudian dia teringat Alzami lagi, yang mungkin sedang berpegangan tangan dengan Zahra, sebelum akhirnya berhenti. Sudah cukup ia menyakiti dirinya. Ia membasuh tangannya dan memeluk sang Bunda dengan muka meringis penuh sisa tangis. Di luar masih hujan.

"Dasar, memang maskulinitas itu rapuh. Bunda aja nggak nangis waktu disuruh angon sapi sama nyari rumput dulu. Dan Bunda nggak merasa harga diri Bunda sebagai perempuan diinjak-injak."

Zuhri sudah hilang akal dengan ke-soktahu-an bundanya. Tapi ia merasa dihibur. Saat itu Alzami muncul dengan Zahra, membawa sekantong kresek penuh cemilan dan minuman kafe.

"Sampel gratis." kata Zahra setelah masuk lewat pintu depan, tanpa menyembunyikan bel.

Alzami langsung menghampiri Zuhri yang memasang wajah kaku.

"Sebenarnya aku mau ngelakuin ini di kafe tadi, tapi Zuhri nggak bisa dateng. . dan karena Zahra selalu bilang kalau Zuhri sayang banget sama Bundanya. .  mungkin memang lebih baik kalau aku ngomong di sini sekalian."

Zahra berkacak pinggang. Zuhri was-was.

"Jadi, Bunda. . boleh kan aku jadi pacarnya Zuhri?"

-

Fin.



Amidst the SquallWhere stories live. Discover now