Dimas memicing penuh curiga, mendapati Agus Sinar buru-buru menyimpan ponselnya.

"Siapa yang Papa hubungi tadi?" tanyanya penasaran.

Agus Sinar tampak kikuk. "Itu ... Papa ...,"

"Dimas dengar," potongnya kemudian. "Kalau Papa sedang mencari seseorang. Kenapa tidak minta tolong Dimas saja, Pa? Siapa orang yang sedang Papa cari memangnya?"

Agus Sinar makin terbata-bata dibuatnya. Dia tidak tahu harus bagaimana. "Cuman ... temen lama. Dia menghilang saat sedang bertugas."

"Seorang jurnalis?"

Dimas menyipit. Meski Agus Sinar sudah mengangguki pertanyaannya, tetap saja dia merasa curiga.

"Bagaimana soal Eja? Apa kamu sudah memikirkan tempat yang bagus untuknya?" Agus Sinar bersiasat memilih topik lain untuk dibicarakan daripada dia terus-menerus dicecar pertanyaan oleh putranya.

"Dimas akan mengatur jadwal konseling untuk Eja dengan seorang psikolog di Pusat Rehabilitasi Mental."

"Apa? Rehabilitasi Mental?" seru Agus Sinar tidak percaya. Wajahnya langsung berubah masam. "Kamu pikir adikmu sudah tidak waras, Dimas? Dia itu kecanduan ...!" Dia bahkan sampai harus mendesis tajam agar suaranya tidak terdengar sampai ke lantai dua.

"Dimas tau, Pa, tapi—"

"Tapi apa?"

"Menurut Dimas, ini yang terbaik untuk Eja."

"Apa Papa tidak salah dengar, Dimas?"

Dimas memijat batang hidungnya kuat-kuat. Akh, kenapa rasanya sungguh sial. Menurut Dimas sendiri, kejiwaan Eja yang tidak stabil patut diperhatikan lebih dulu. Eja adalah korban pelecehan seksual sekelompok homo gila di sini. Namun, Dimas tidak mungkin memberitahu Agus Sinar soal kebenaran itu. Sudah pasti Agus Sinar akan langsung bertanya siapa yang tega melakukan itu dan mendesak Dimas untuk memberitahu. Gawatnya lagi, Agus Sinar mungkin tidak akan segan melakukan tindakan nekat di luar nalar, seperti menyuruh orang suruhannya membakar gedung walikota atau bahkan rumah walikota itu sendiri demi Eja. Yang benar saja.

"Kamu itu memang tidak pernah peduli, kan, sama Eja. Dia juga keluarga kita, Dimas," desah Agus Sinar lelah. Dia sudah sangat sering mengatakan ini pada Dimas. "Sudahlah, cepat kamu berangkat sana. Biar Papa sendiri yang mengurus soal Eja."

Dimas hanya bisa menghela napas keras. Agus Sinar segera berbalik, kembali meraih ponselnya, kemudian mulai menghubungi kenalannya yang Dimas tidak tahu siapa.

"Pa, Mama ...,"

Mendadak Dimas mengingat mimpinya tadi sore. Keraguan mendadak menyelimuti hatinya. Selama ini Dimas tidak pernah tahu kronologi sebenarnya soal kematian Mama, sebab sewaktu Mama meninggal Dimas sedang dirawat di rumah sakit saat itu. Kejadiannya pun sudah lama sekali, lima belas tahun yang lalu. Selain itu, Dimas juga tidak tahu apa-apa. Dia hanya mendengar cerita dari Papa bahwa Mama sakit keras. Begitu Dimas terbangun, Papa memberitahunya bahwa Mama sudah tidak ada dan dikuburkan. Kepergian Mama benar-benar sangat memukul Dimas kala itu. Dimas merasa sangat-sangat menyesal. Dia tidak sempat melihat Mama di saat-saat terakhirnya karena harus terbaring di rumah sakit selama berhari-hari.

"... Mama benar meninggal karena sakit, kan?"

Sayang, Dimas tidak mendapat jawaban apapun dari papanya, sebab Agus Sinar sudah keburu menghilang di balik sisi dinding ruang keluarga.

________________

"Seperti yang Anda bilang, Inspektur. Mereka saat ini sedang mengintai di sekitar area LZ Apartement. Sayangnya nama Rudi tidak ada dalam daftar kepemilikan salah satu apartemen tersebut," jelas Aryan melaporkan perkembangan.

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now