Dulu

74 11 3
                                    

Dulu, aku selalu mengira akan berlari ke luar pusaran.

Mengejar layang-layang atau burung gelatik. Melompati batang pohon atau riak sungai kecil. Mengayuh sepeda atau skuter mini.

Nyatanya aku terdampar di sini. Cukup “di sini”. Aku sendiri tidak tahu tempat apa ini. Cuacanya berubah lebih cepat dari tempat lain, pun pohon-pohonnya tak pernah sama jumlahnya.

Tempat ini berubah sesukanya, melawan ilmu pasti. Tempat ini pula yang menentukan suka duka penghuninya. Banyak yang menghindari tempat ini. Jika pun ada yang menginginkannya, aku tak akan pernah tahu.

Namun semuanya berawal dari sini.

Aku sedang mondar-mandir menebak cuaca apa lagi yang akan datang setelah hujan turun, ketika sebuah pintu muncul di salah satu dinding batu paling membosankan di tempat ini. Pintu yang muncul pun tak kalah membosankannya. Tahu pintu kamar mandi umum? Nah, seperti itulah rupanya. Tak ada ukiran emas, tak ada kesan klasik ataupun magis dari pintu itu. Hanya berbentuk persegi panjang, berkilau layaknya plastik murahan, dengan gagang pintu bulat yang harus diputar untuk buka tutup.

Hanya karena tak ada kerjaan saja maka kubuka pintu itu. Kalau ada hal yang lebih menarik, misalnya ada kucing jantan merayu kucing betina tepat di depanku, tak akan pernah terpikir olehku membuka pintu itu.

Apa yang di balik pintu itu sama saja membosankannya. Hanya sebuah ruang putih luas beralaskan … apa ini? Benda asing lunak berwarna kelabu menutupi seluruh lantainya. Aku menusuk-nusuknya dengan jariku. Rupanya sejenis malam, namun sama sekali tidak lengket. Sebaliknya, benda ini enak dipegang. Aku menggenggam sedikit lalu menarik benda itu ke sana kemari. Lentur, tidak mudah sobek, dan mudah dibentuk. Iseng-iseng kubuat tiruan pohon yang tumbuh “di sini”.

Pohon itu langsung hidup.

Warnanya tak lagi kelabu. Akar-akarnya tumbuh, batangnya menguat, dan daunnya merimbun. Tahu-tahu sebuah pohon yang gagah hadir di tempat membosankan ini. Kejadian ini memberiku ide lain. Kuambil segenggam malam dan kali ini kubentuk menyerupai seorang teman.

Jantungku berdebar melihat si teman sama hidupnya dengan pohon barusan … tunggu, hidup? Ah, rupanya tidak sehidup itu. Mereka hadir, tapi mereka tak bernyawa. Tentu saja, karena hanya Tuhan yang bisa memberi nyawa. Mata temanku menatapku kosong seperti boneka porselin. Ini tidak membuatku hilang akal. Supaya terkesan hidup, kutanami mereka baterai dan chip berisi karakter-karakter manusia yang juga kubuat dari malam. Usahaku berhasil. Meski masih tergantung perintah, paling tidak ia bisa berpikir dan merasa walau kapasitasnya terbatas.

Hatiku meledak-ledak dengan segala kemungkinan ini. Ingin rasanya aku minta maaf pada si pintu yang tadi kuhina karena tampangnya yang membosankan. Aku tak akan bosan lagi. Aku tak akan merasa terdampar lagi. Karena detik ini, saat ini juga, aku tahu aku akan bahagia!

Aku bisa menjadi apa yang kuinginkan!

Aku bisa memiliki semua yang kuinginkan!

Aku bisa menjadi seorang legenda!

Sambil tertawa-tawa, kakiku menari dan tanganku sibuk membentuk malam lagi. Tak lama aku berhasil membentuk satu desa. Satu kota. Satu negara. Lalu akhirnya .…

Satu dunia.

Aku melonjak-lonjak kegirangan. Tak ada yang menahanku bertingkah seperti orang lupa diri. Oh, biarlah … biarlah! Siapalah mereka yang berhak menghalangiku merayakan kebahagiaanku sendiri? Siapa?

Kubaringkan diriku di atas karyaku sendiri. Belum pernah aku tersenyum selebar dan selama ini. Mungkin aku memang ditakdirkan di sini, bukan untuk berlari karena sebagai pelari, aku memang payah sekali.

Mulai hari ini, aku tak akan menangisi kemampuan berlariku lagi.

Mulai hari ini, aku tak akan menangis karena merasa tersusul lagi.

Jalanku ini. Jikalau aku harus berlari, aku selalu tahu aku punya tempat untuk kembali.

Duniaku. Kau adalah salah satu pelita yang diberikan Tuhan padaku. Lewat hal yang sekilas menjemukan. Lewat hal yang mungkin banyak diremehkan. Lewat hal yang seringkali dibanjiri air mata.

Duniaku.

Sang KhalayakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang