Sang Khalayak

160 14 7
                                    


Di hari-hari mereka berseliweran, memenuhi jalanan, atau tempat mana pun mereka menggantungkan hidup mereka, aku tetap di "singgasana"-ku menyaksikan semuanya.

"Singgasana" yang kumiliki bukanlah sebuah "singgasana" mewah. Bagiku, kata itu merujuk pada sesuatu yang sederhana saja: kursi kayu ibuku, sofa berumur yang isinya mulai kempis, dan ranjang tempatku berbaring merenungi semuanya.

Aku hanyalah khalayak.

Meski mereka pikir aku sang legenda, aku bukanlah apa-apa. Ada banyak yang tak kumengerti di dunia ini. Duniaku, maksudku, bukan dunia mereka. Aku mengenal seluk-beluk dunia mereka seolah hal itu telapak tanganku sendiri, tapi duniaku?

Tahu apa aku soal cinta?

Tahu apa aku soal persahabatan?

Tahu apa aku soal menjadi manusia yang seutuhnya?

Yang kutahu dunia ini masih bagian dari perjalanan. Kita semua akan melangkah menuju kematian. Mati. Bukan sebuah kata yang asing untukku. Kami pernah akrab selama beberapa waktu, sampai aku memutuskan untuk hidup kembali; memutuskan untuk melakukan apa yang kuinginkan.

Menjadi legenda.

Kisahku sudah terdengar oleh beberapa gelintir telinga. Mereka yang sudah tahu memilih bungkam. Aku tak menyalahkan mereka. Kisah tentangku sama sekali bukan kabar yang enak didengar.

"Semakin sedikit kau tahu, semakin baik." Itu kata mereka.

Aku tersenyum. Ya. Aku tak pernah berkata apa-apa. Mereka yang pernah mendengarku bicara tak akan meneruskannya pada siapa-siapa. Aku tak terlihat. Aku bebas melakukan dan mengawasi mereka kapan pun aku mau.

Aku seorang legenda.

Sang KhalayakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang