39. Perundingan Terakhir Penjaga

23 7 0
                                    

Hening. Tidak ada yang menciptakan suara sepelan apapun. Hanya lima orang yang duduk mengelilingi meja batu bundar dengan pakaian mencolok mereka. Raut wajah mereka datar, ada pula yang mengarah ke mimik gusar. Yang menemani mereka selain hening adalah semburat jingga senja yang tampak dari jendela-jendela di sisi kiri ruangan, hampir mencapai jendela-jendela yang berhadapan dengannya.

Tepat ketika tiga orang lagi membuka pintu kayu besar di belakang ruangan, hening lenyap. Pakaian mereka sama mencoloknya dengan lima orang yang duduk di sana, yang kini berdiri seakan menyambut kedatangan mereka.

Satu dari mereka berpakaian kamisa sutra lengan panjang warna kuning pucat, ditutup jubah buntung yang menjuntai hingga lutut sewarna senja. Stola sewarna emas menggantung di lehernya, dan kakinya ditutupi celana katun berwarna senada dengan jubahnya. Di belakangnya dua orang dengan pakaian yang berlainan mengikuti. Yang satu serba putih dengan sabuk hitam dan garis hitam pada tepi jubah, berwajah tegas dengan rambut ikal sebahu. Yang satu lagi serba hitam dengan sabuk putih dan garis putih pada tepi jubah, berwajah tirus dengan rambut lurus dan poni yang ditata menyamping. Mereka berdiri di pinggir meja yang membelakangi sinar senja.

Pria berjubah emas itu--Milcha--memberi isyarat untuk duduk.

"Tepat senja ini, tanggal satu bulan Ervel, kita--Morignor--menghadapi akhir Nomius." Ia mengawali pembicaraan. Para pendengarnya hanya mendesah pelan, bahkan hampir tidak terdengar. Kentara dari raut muka mereka, mereka tidak ingin hal buruk ini terjadi.

"Sebagai tindakan terakhir, kita akan membahas pertahanan Ekh-Rod dan perlawanan kita." Ia menunjuk Irina. "Jelaskan, sudah sejauh mana persiapan bangsa Dwarves."

"Semua mesin tempur mereka telah dipindahkan dari pemukiman Dwarves. Bahkan senjata pamungkas mereka dibawa," lapor Irina. "Jumlah mereka ada sekitar dua bala tentara yang bertempur dengan pedang dan tombak, dan setengah bala tentara akan menjalankan mesin tempur."

Nareil angkat suara. "Apa hanya Dwarves yang membantu kita? Aku bisa menghubungi Yeria di Timur Jauh untuk membantu kita."

"Apa masih sempat? Pasukan manusia telah bersiap di Troidei. Pasukan Abyss sudah setengah perjalanan." Kali ini Gabri menyangsikan.

"Tenanglah. Bangsa Lilievean lebih gesit dari makhluk bersayap manapun di Nomius." Nareil meyakinkan. "Kalaupun kau masih ragu, aku bisa memindahkan mereka dengan sihir Telvorte."

Gabri mengangguk sebagai jawaban.

"Bisa saja, Nareil. Dan ada satu lagi yang hendak kusampaikan. Apa kau bisa menggunakan sihir itu untuk memindahkan satwa magis di utara Nolderk?" pinta Milcha.

"Tentu."

"Oh ya, kalian semua sudah bertemu dengan mereka, bukan?" Ia menunjuk dua orang yang duduk di sisi kiri dan kanannya. Jawab yang diterimanya adalah anggukan dan senyuman.

"Di kananku adalah Jemuel," Milcha menepuk pundak pria berpakaian putih di kanannya, "dan di kiriku adalah Klaufort." Ia menepuk pundak pria berpakaian hitam di kirinya. "Selamat bergabung dengan Morignor, dan selamat bekerja sama, Tiga Murid Horien."

Satu yang senyumnya paling cerah adalah Shefrina. Tentulah, karena setelah sekian lama akhirnya mereka bertiga kembali bertegur sapa dan bekerja bersama.

Gabri berdeham, membuyarkan pikiran tiap orang. "Jemuel dan Klaufort, aku yang akan menyertai kalian langsung. Kalian sering menggunakan sihir kombinasi, bukan?"

"Benar." Klaufort menjawab. "Tetapi kami perlu memakai lebih banyak Chroste jika harus melakukan sihir kombinasi."

"Karena itulah Gabri mengiringi kalian," balas Milcha. "Ia adalah makhluk langit dengan kemampuan manipulasi regenerasi. Kalian bisa bertahan lebih lama."

Rasa sangsi Klaufort sirna mendengar jawaban itu.

Journiel menyela. "Kemudian, rencana Irina dan Gabri?"

Seakan tersentak, Nareil menyahut. "Ah! Benar juga. Mereka menunggu di aula." Ia memberitahu Gabri.

"Baiklah. Akan kubawa mereka berempat kemari." Bersama kalimat itu, Gabri keluar dari ruangan.

*

"Tenanglah, kami akan beritahu kalian. Jadi rencana kami seperti ini."

Irina memulai penjelasan. "Gabri telah memberitahu bahwa ada kemungkinan ras Light Elves akan punah. Jadi, untuk mencegahnya, aku akan meminta bantuan Nareil untuk menyelamatkan putri Jehoren dan imam itu, Greino."

Shefrina mencureng. "Kenapa harus mereka berdua?"

"Mereka adalah dua orang yang paham benar sejarah ras mereka. Sehingga, jika di masa yang akan datang, salah satu atau keduanya berketurunan, mereka dapat meneruskan sejarah dan budaya bangsa Light Elf," terang Gabri.

"Sejauh ini aku paham rencana kalian," respon Milcha, "tetapi berketurunan? Kemungkinannya tidak besar, Gabri. Kalaupun kau hendak menyeberangkannya ke Dunia Luar, tetap saja tidak besar."

Tanpa diduga, keduanya tersenyum jahil.

"Karena itu kami menyelamatkan Artevio," ujar Irina. Kontan semua orang yang mendengarkan tersentak.

"Apa kau bilang?" sergah Nareil.

"Coba ulangi?" tambah Shefrina.

Irina mendesah jemu. "Kami menyelamatkan Artevio Brumm," ulangnya.

Milchalah yang memekik duluan, terkejut. "Benarkah? Kenapa tidak kau bilang pada kami?"

"Karena kami sempat berpikir kau akan menentangnya. Kami menyelamatkan Artevio, itu tidak bersesuaian dengan ramalan." Gabri beralasan. Sesaat air muka Milcha berubah.

"Benar juga," gumamnya ragu, "tetapi itu hebat!"

"Jadi," Irina kembali menjelaskan, "kami menyelamatkan Artevio dan menolong Fellina, agar mereka dapat bekerja sama dengan dua Light Elf itu."

Semula para anasir tidak merespon ganjil perkataan Irina itu, hingga kemudian Journiel yang sedari tadi bungkam saking terkejutnya bersuara.

"Tunggu. Bekerja sama, apa maksudmu ...." Ia tak dapat melanjutkan kalimat itu, tetapi kelima orang lain dapat mengerti maksudnya.

"Benar!" sahut Irina.

Segera seisi aula itu dipenuhi gelak tawa.

"Baiklah, itu tetap dalam rencana tambahan. Sekarang, kita memutuskan rencana kita seperti apa," tutup Gabri seraya menahan cekikikan.

*

Empat orang itu tak dapat menggerakkan lidah akibat ketercengangan mereka. Mereka tak percaya berhadapan dengan delapan orang yang paling berpengaruh dalam sejarah Nomius itu.

Bagi Artevio, Chetrine, dan Greino, itu adalah sebuah berkat.

Journiel menyapa mereka. "Selamat datang di Ierron, penduduk Nomius!"

Tak ada jawaban. Betapa tercengangnya mereka.

"Baiklah, aku tahu ini terasa mengejutkan dan mengherankan, tetapi ini nyata, Saudara Saudari," ujar Journiel seraya mendekati mereka. "Ya, karena aku juga pernah merasakannya."

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Artevio adalah kalimat takjub yang sayangnya aneh.

"Apakah kami berada di surga?"

Serentak delapan orang itu tergelak.

"Maaf mengacaukan imajinasimu, Artevio, tetapi kau belum mati," kelakar Shefrina.

Mencoba menahan tawanya, Milcha menerangkan. "Kalian kami undang kemari karena kami perlu bantuan kalian. Walau, undangan itu diberikan agak kasar."

Tetiba Chetrine membungkuk. "Terima kasih telah mengundang kami!" ucapnya penuh bahagia.

Journiel bergerak untuk membantu Chetrine berdiri tegak. "Tidak perlu membungkuk sedalam itu, Nona. Kami bukan sosok yang patut dimuliakan."

Belum sempat Chetrine membalas, Nareil menambahkan. "Yang dia katakan benar, Chetrine. Kami hanya, butuh bantuanmu."

"Jikalau begitu, tolong beritahu kami apa yang harus kami lakukan! Kami akan lakukan dengan segenap kemampuan kami!" seru Greino. Milcha tersenyum.

"Bantu kami melawan kuasa Dark Abyss, Empat Pembela Benua," kata Milcha lantang.

Tale of the Past: Expansion of the AbyssWhere stories live. Discover now