2. That So Called Twin Brother

6.4K 669 37
                                    

"Nat, kos-kosan lo sebulan berapa duit?"

"Lo ngapain tiba-tiba nanya kosan gue?" Mata Renata menyipit curiga pada Dinda.

Dinda tak langsung menjawab. Ia memainkan sedotan di gelas es tehnya. Sebelah tangannya yang bebas menyangga dagu.

"Nanya doang emang nggak boleh?"

Renata menumpukan kedua tangannya ke atas meja. Ia mencondongkan tubuhnya pada Dinda. "Lo masih nggak mau cerita sama gue?" tanyanya malahan.

Dinda berdecak lalu mendesah.

"Seriusan ya, Din, lo kenapa? Tiga hari lo numpang di kos gue, sekarang tiba-tiba lo tanya harga sewanya. Mau ngapain? Ngekos? Diusir ya lo sama bokap lo?"

Dinda mencibir. Pertanyaan terakhir yang diucapkan Renata membuatnya mengingat lagi perihal ayahnya. Tiga hari lalu Dinda memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Niat awalnya ia hanya pergi untuk sementara. Namun semakin hari Dinda semakin takut kembali ke rumah ayahnya.

Sialnya lagi Prabu bahkan tak mencarinya. Berusaha menghubungi ponselnya pun tidak. Hingga detik ini ponsel Dinda tak menerima satupun panggilan atau pesan singkat dari Prabu.

"Lo kenapa sih, Din? Punya masalah ya sama bokap lo? Cerita dong! Tahu-tahu gue diseret polisi dengan tuduhan penculikan kan nggak lucu."

Dinda tersenyum tipis menahan tawa. "Pengen mandiri gue. Kasihan ayah susah mulu ngurusin gue."

"Ye! Dia kan bokap lo, wajarlah ngurusin lo. Setahu gue lo juga jadi anak nggak nglunjak-nglunjak amat. Nerima aja apa adanya."

Dinda mendesah berat. Susah rasanya untuk menjelaskan semua ini pada Renata. Bukan hanya rumit tapi Dinda yakin teman sekampusnya itu pasti akan shock jika mendengar ceritanya.

"Di sini lo rupanya."

Dinda mendongak. Begitu pula Renata. Pandangan keduanya jatuh ke sisi meja mereka. Seorang lelaki dengan tinggi kira-kira 178 cm berdiri di samping meja mereka. Dinda mengernyit mendapati sosok yang tak di kenalnya itu berdiri tenang menatapnya. Terlebih penampilannya begitu mencolok; dengan jumper merah dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Hoodie jumper-nya tersampir ke atas kepala, semakin mempersulit Dinda untuk menerka siapa orang itu.

"Lo ngomong sama gue?" tanya Dinda.

"Ikut gue bentar, ada yang mau gue omongin."

Kening Dinda kembali mengerut. Dinda yakin tak mengenali orang ini. Mendengar suaranyapun baru kali ini. "Lo siapa?"

"Nanti gue jelasin kalau lo ikut sama gue sekarang."

Dinda mendengkus. "Gue nggak tahu lo siapa. Gila aja main ikut. Ya kalau lo orang waras. Kalau ternyata lo tukang jual organ dalam manusia? Kan apes di gue."

Meski wajahnya tertutup masker dan hoodie, Dinda tahu lelaki itu tengah mengetatkan rahangnya. Terlihat jelas dari tatapan matanya yang tajam. Tatapan yang entah bagaimana terasa familiar bagi Dinda.

"Gue Robin," ucap si lelaki.

"Yeah, dan gue batgirl-nya." Dinda tertawa merendahkan. Diikuti Renata.

Mata yang tadi menatap tajam Dinda kini menyipit. Jelas sekali lelaki ini sangat kesal. Namun kedutan kecil di mata kanannya memberi tahu Dinda bahwa lelaki ini kini menyeringai. Itu membuat tawa Dinda lenyap perlahan, berganti rasa waspada.

"Lo yang minta ini," ucap si lelaki memperingati.

Dinda semakin waspada. Ia sudah bersiap-siap jika si lelaki ini berbuat nekat. Memanggul tubuhnya seperti karung beras misalnya.

Selisih [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang