19. Graveyard (?)

Start from the beginning
                                    

"Ini strategi bisnis, Kapten," jawab Agus Sinar kemudian. Namun, pria paruh baya yang wajahnya masih tampak segar itu dengan senang hati menceritakannya pada Kapten Depari. Dia merentangkan kedua tangannya. Menunjuk area barat dan timur sekaligus. "Saya membayangkan gerbang utamanya ada di seberang jalan itu."

Kapten Depari menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti.

"Masalah terbesarnya adalah sampah-sampah ini. Tidak mungkin saya membiarkan para penghuni rumah menatap pemandangan mengerikan semacam ini begitu mereka keluar dari gerbang."

Penjelasan rinci dari Agus Sinar dibalas tawa renyah oleh kapten itu. "Hmm ... masuk akal juga."

"Jadi, saya harap penyelidikannya cepat dilakukan."

"Saya juga berharap begitu."

Tiba-tiba saja Fred datang menginterupsi pembicaraan mereka.

"Kapten, ini ... gawat," lapornya sembari melirik ke arah pria paruh baya berkaca mata emas di samping Depari.

"Ada apa?" tanya Depari cemas.

Fred enggan untuk menjawab. Dia hanya mengedarkan pandangannya ke area halaman yang kini sudah hampir bersih oleh gundukan sampah. Kode darinya langsung diterima oleh Kapten Depari. Pria itu tercenung dengan rahang mengatup rapat. Lima, enam, tujuh, bahkan lebih. Setidaknya ada sepuluh lubang galian yang berhasil Tim Inafis dan perwira lapangan temukan.

Kapten itu nyaris tidak percaya melihat pemandangan di hadapannya. "Ini ... persis seperti ladang kematian."

___________

"Sudah kuduga si Rudi itu akan kabur. Sial! Dia tidak ada di mana pun," ucap Dimas jengkel, saat Evan—rekan satu timnya di Divisi Pembunuhan—datang menanyainya. "Di kosannya tidak ada, di tempatnya mengajar juga tidak ada."

Evan ikut mendesis jengkel, kemudian melaporkan hasil penyelidikannya, "Aku sudah meminta Joana untuk melacak posisinya, tapi sayang ponsel Rudi di-nonaktifkan sejak dua hari yang lalu. Selain itu, tidak ada tanda-tanda kalau dia pernah menyetorkan uang hasil penjualan lahan itu dalam transaksi rekening tabungannya."

Dimas sempat berhenti melangkah, sesaat kemudian dia kembali berjalan menuju ruangan mereka di lantai tiga. Evan mengikuti di sampingnya. "Benarkah?" Dimas tersenyum miring. "Aku yakin dia pasti tersangkut di bandara kalau membawa uang sebanyak itu dalam tasnya."

Evan mengangguk setuju. "Tapi bagaimana kalau dia justru kabur lewat pelabuhan tikus, Dim?"

"Itu berarti kita sedang sial—"

Dimas dan Evan seketika mematung. Baru saja sampai di ambang pintu ruangan, kedua perwira polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu itu dibuat ternganga mendapati ruangan divisi mereka telah dipenuhi banyak orang. Bau keringat, bau apak, serta bau-bau lainnya bercampur aduk menjadi satu membuat keduanya langsung mengernyit hidung.

"Ada apa ini ...?" tanya Dimas penasaran. "Bram ...?" Dia lantas menagih penjelasan begitu mendapati wajah Bram menyembul di antara anak-anak berseragam coklat muda. Untuk apa orang dari Satuan Jatanras masuk ke ruangan mereka?

Evan terkekeh di sebelahnya. "Kau kira ruangan kami ini kamp pengungsian apa?" Kemudian buru-buru menghambur ke sudut ruangan, di mana papan kaca berisi hasil penyelidikan kerangka Santini terpampang. Dengan sigap Evan memutarnya ke sisi dinding lain agar rahasia penyelidikan mereka tidak dilihat sembarang orang.

Bram mengeluh di balik meja. Dia tampak kesulitan menghadapi tingkah menyebalkan anak-anak SMA yang dia interogasi. "Anak-anak Dharmawangsa sudah memenuhi ruangan kami. Jadi, aku terpaksa membawa pasukan tempur Yayasan Shandi Putra II ke sini."

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now