Sial! Aku menangis.

Aku memejamkan mataku erat merasakan semua debuman memori itu kembali menghantui kepalaku.

Menggerakkan kursi ini, berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kedua kakiku pada kursi sialan ini.

"Apa kau masih mengingat bagaimana Yoongi tersenyum dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja?" Ia meraih sisi wajahku, menghentikanku yang terus menggelengkan kepala tak terima. "Padahal saat itu seluruh tubuhnya sudah dipenuhi lebam, dan mulutnya mulai mengeluarkan darah." Matanya terus mencari ke dalam mataku yang tak berhenti meluapkan kesedihanku.

Hingga netraku yang terus berpendar panik mampu ia dapatkan, di bawah lembutnya tatapan mata itu. Ia tersenyum kecil saat aku terdiam membalas tatapannya, menghapus air mataku kemudian berucap, "Apa kau bisa merasakannya? Bagaimana sakitnya menatap orang yang kaucintai menjadi penyebab dari kematianmu."

Mataku melebar kala ia mengatakannya dengan mudah. Membuatku kembali mengingat semua memori malam itu.

Malam, dimana aku harus melihat pandangan penuh rasa sakit yang tersenyum tulus.

Ia menghela napasnya lalu berdiri tegak. Meregangkan otot lehernya dan mengusak rambutku kemudian. Seraya berjalan ke arah pintu keluar.

"Lepaskan semua ikatannya."

"Dokter Kim!"

Ia kembali menghela napas, kali ini lebih keras. Lalu kembali berbalik dengan kedua tangan yang ia letakkan di pinggang.

"Jika Namjoon tidak mau, maka Jimin yang harus melakukannya." Ia menatap seorang laki-laki yang berperawakan lebih kecil daripada lelaki disampingnya. Menoleh ke arahku saat lelaki itu mulai berjalan untuk melepaskan tali yang mengikat tubuhku erat. "Lagipula, pasien kita perlu melampiaskan amarahnya pada dunia. Bukan begitu?" Ia terkekeh kecil lalu meninggalkan ruangan.

Begitu juga dengan kedua lelaki yang sedari tadi berada di dalam ruangan ini. Mereka keluar dengan terburu begitu aku mulai menggerakkan tanganku. Mengunci pintu rapat-rapat, yang aku yakini, kini mereka menatap takut dari jendela kaca satu arah.

Takut.

Kenapa semua orang merasa takut padaku?

Kenapa tidak ada yang pernah berusaha mengobati luka dihatiku!

Kenapa mereka selalu menjauh dan merasa takut padaku!

Aku bahkan tidak bisa berteriak kala amarah menyelimutiku. Tapi kenapa mereka justru takut padaku!

Aarggh!

Tidak! Aku tidak mau peduli karena dunia takkan pernah memedulikanku.

Aku muak! Aku muak bersikap seolah diriku baik-baik saja! Aku muak!

Kubanting seluruh benda yang berada dekat dalam jangkauanku. Menghancurkan segala hal yang terlihat utuh.

Mereka tidak boleh terlihat baik. Tidak, jika aku hanya menjadi satu-satunya orang yang harus merasakan luka.

Aku benci.

Aku benci saat aku menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas mata dunia.

Padahal mereka tak pernah mau mencoba untuk melihat ke dalam.

Yang mereka tahu, hanyalah apa yang mereka lihat.

Dunia, selalu hanya berpihak pada mereka yang banyak.
*****


"Halo!"

Dapat kurasakan paru-paruku kembali terisi udara ketika suara itu memasuki gendang telinga. Perlahan, aku mengerjap berusaha untuk menyesuaikan bias cahaya pada retina.

CALL [END]Where stories live. Discover now