Adikku yang kucari, kini berada di hadapanku. Aku merasa canggung, bingung, hingga mulutku terlalu kaku untuk berucap meski diberi kesempatan untuk berbincang berdua bersamanya.
Ilmea juga begitu. Ia hanya tak berani menatapku. Aku bisa merasakan kesedihan terpancar dari wajahnya.
Hah...kakak macam apa aku? Hanya karena Ilmea bilang tidak mau ikut denganku, batinku langsung terusik. Hanya karena fisiknya sekarang terlihat seusia denganku, pikiranku langsung kacau. Bodohnya aku....
"Ilmea... kau baik-baik saja, 'kan?" Ah... setelah susah payah aku mencarinya, dan kini dia ada di hadapanku, hanya kalimat itu yang terpikirkan dalam benakku. Konyol sekali.
Ilmea tersenyum. Tapi senyumnya terlihat jelas ia paksakan. "Aku baik-baik saja, kak."
Setelah itu, kami berdua kembali larut dalam keheningan. Sudah cukup, aku tidak boleh basa-basi lagi.
Aku memantapkan hati, mengabaikan dulu semua perasaan tak karuan ini. Aku bertanya padanya, "Ilmea... kenapa kau tidak mau ikut?" Akhirnya terucap juga. Pertanyaan yang sebelumnya segan... atau lebih tepatnya, takut untuk kutanyakan akhirnya keluar juga dari mulutku.
Ilmea terdiam dengan mata berkaca-kaca. Kali ini aku bisa melihat Ilmea yang berusaha memperkuat dirinya. Ia menatapku, meski dalam tatapan itu ada keraguan dan ketakutan, tapi ia memaksanya. "Semua yang terjadi sekarang... karena ayah, 'kan?"
Deg! Hatiku bergetar mendengarnya. Apa yang Ilmea pikirkan sempat aku pikirkan juga. Ada hasrat ingin membantah perkataannya, tapi hati kecilku juga sependapat dengannya.
Seandainya ayah tidak membuat serum Deus, mungkin dunia tidak akan hancur seperti sekarang ini. Seandainya ayah tidak membuat serum Deus, mungkin perang dunia ketiga tidak akan separah ini.
"Karena itulah, kak. Aku ingin bertanggung jawab. Aku mau memperkuat diri di sini, lalu bergerak untuk mengubah segalanya. Aku ingin mengembalikan perdamaian. Aku ingin menolong para Inhumans yang ditindas."
Aku memejamkan mata setelah mendengar penjelasan dari Ilmea. Tanpa kusadari, bibirku tersenyum. Ternyata, adikku tidak berubah. Dia tetap Ilmea yang kukenal; gadis tomboi yang sangat membenci ketidakadilan dan penindasan. Jujur, aku malah malu dibuatnya. Yang kupikirkan hanya mencari Ilmea tanpa mempedulikan kondisi saat ini. Egoisnya aku....
Dengan begitu, hilang rasa takutku. Apa yang paling membuatku takut adalah kalau sampai Ilmea berubah. Sekarang aku bisa tersenyum lebar.
"Hahaha! Kau memang hebat, Ilmea. Kakak akan mendukungmu!" ucapku dengan penuh semangat. Mendengarnya, raut wajah Ilmea berubah cerah. Matanya yang semula memancarkan kesedihan, kini berbinar seperti mata yang kukenal selama ini.
"Ka-kakak tidak marah?"
Aku mengusap-usap kepala Ilmea sampai rambutnya sedikit acak-acakan. "Tentu tidak! Malah, kakak mau berterima kasih. Berkat Ilmea, kakak jadi sadar. Kakak juga harus melakukan sesuatu, 'kan?"
Ilmea tersenyum, lalu mengangguk dengan semangat. "Iya! Kemampuan kakak hebat! Dengan kemampuan kita, kita pasti bisa melakukan sesuatu, kak!"
Bicara soal kemampuan, aku jadi teringat sesuatu. Dari mana aku dan Ilmea mendapat kemampuan ini? Apakah dari awal aku sudah memilikinya? Tapi bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Kalau Ilmea, 'sih... wajar. Kemampuannya hanya aktif kalau ada orang berkemampuan lain berada di dekatnya. Dulu belum ada Inhumans, 'kan? Jadi, ya... wajar kalau kemampuannya tidak terlihat.
"Kak! jangan melamun, ih!" Suara bernada tinggi milik adikku membuyarkan lamunanku.
"Oh, iya. Ilmea. Darimana kau mendapat kemampuanmu?"
YOU ARE READING
D-Genesis : Reversed
Science FictionDi tahun 2025, seorang ilmuwan ahli genetika berhasil menciptakan sebuah serum yang mampu meningkatkan potensi manusia secara maksimal. Setelah bertahun-tahun meneliti, ayahku, Dr. Sheer Genesia, akhirnya bisa membuktikan pada dunia kalau teorinya t...
