Aku menghembuskan napas pasrah. "Oke. Apa maumu?"

"Mengabdi."

"Apa, sih, sebenarnya yang kau maksud dengan mengabdi?" tanyaku kesal. "Kalau itu maksudnya memberimu sesaji tiap malam Jum'at, menyerahkan tumbal, sujud-sujud di kakimu.. aku nggak mau!" tegasku.

Aku jadi ingat film-film Susana yang beberapa waktu lalu sering diputar di salah satu stasiun televisi. Err, aku kurang suka. Mereka menayangkannya bahkan sebelum jam delapan malam. Itu sedikit gila, mengingat anak-anak dibawah umur masih berkeliaran.

"Bukan."

Dongkol rasanya saat kamu bicara pakai rumus matematika; panjang kali lebar. Tapi, lawan bicaramu justru memakai rumus penulisan bahasa Indonesia; singkat, jelas, dan padat.

"Terus?"

"Melayaniku."

Aku bergidik. Bayangan novel horor-erotis kini memenuhi kepalaku, lagi. Aku tidak mau!

"Itu seperti apa? Maksudku, apakah--" Aku kehilangan kata-kata. Masa iya aku harus bertanya blak-blakan?

"Menyerap energi kehidupanmu."

Apa? Dia bilang apa? Energi hidup? Kalau diserap bukannya aku akan mati.

"Apakah aku akan mati?"

"Tidak. Aku takkan menyerap semuanya. Aku takkan membuatmu mati."

Speechless. Ini pertama kalinya dia bicara begitu panjang. Dan apa tadi dia bilang? Takkan membuatku mati? Tapi, tunggu dulu..

"Berapa lama aku harus melakukannya? Mengabdi padamu."

"Selamanya."

Gila!

Sangat gila!

Sungguh gila!

"Tidak mau!"

Prang!

Sekarang apa lagi? Aku menoleh. Mug. Mug kesayanganku! Yang saking sayangnya hanya kujadikan pajangan, takut kalau rusak. Sekarang? Dia sudah jadi kepingan tak berbentuk!

"Ya ampun! Brengsek! Kau harus ganti rugi!" tuntutku. Tapi, pria itu hanya memandangku dalam kedatarannya.

Yeah. Apa, sih, yang bisa diharapkan?

Aku mendengus keras-keras. "Aku tak mau kalau selamanya! Umurku baru tujuh belas tahun seminggu lalu! KTP-ku bahkan belum selesai dibuat! Aku bisa melaporkanmu atas tuduhan eksploitasi anak dibawah umur!" geramku.

"Silakan."

Kalau mataku benar-benar masih sehat, aku bersumpah baru saja melihat senyum miringnya! Sialan! Dia membuatku terlihat seperti orang bodoh. Jelas aku tak mungkin melakukannya.

"Pokoknya aku tak mau selamanya! Hancurkan saja rumah ini kalau kau mau!" Aku melipat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum miring.

Dia pikir, dia berkuasa? Dia pikir aku peduli? Double no!

"Bagaimana jika kakakmu?" Pertanyaannya berhasil membuat senyum miringku hilang. Kedua tanganku luruh di masing-masing sisi tubuhku.

"Jangan macam-macam!" geramku penuh penekanan. Aku lebih peduli dengan kakakku dari pada nyawaku sendiri.

Dan, dia tahu hal ini.

"Hal yang sama berlaku padamu," tuturnya dengan suara sedingin es.

Aku sekilas bergidik. Tapi, cepat-cepat kuenyahkan rasa takut yang kembali menyusup dalam hatiku secara perlahan. Aku tak mau setan di hadapanku ini jadi besar kepala.

Aku menghembuskan napas berat. Pasrah. Aku tak akan melibatkan Kakak di sini. Lebih baik aku mati. "Oke."

Saat ini aku mengiyakan saja. Lain hari aku akan cari cara untuk memusnahkan setan tampan ini.

Tiba-tiba dia mengulurkan tangan. Aku pikir akan melakukan sesuatu sehingga aku sudah memasang tubuh waspada. Ternyata tidak. Dia hanya menunjuk tanganku.

Maksudnya?

Aku melihat kedua tanganku. Membuka telapaknya. Menelitinya. Tak ada apapun. Tapi, tiba-tiba perasaan panas menjalar di pergelangan tangan kiriku. Tepat diatas nadiku. Rasanya membakar. Lalu entah dari mana, sebuah simbol kini terukir di sana bersamaan dengan rasa membakar yang menghilang.

"Apa ini?" gumamku sambil melirik pria itu. Memudian mengamati simbol di tanganku. Sebuah bintang didalam lingakaran. Rasanya familiar. Seperti simbol setan yang pernah kulihat di sebuah film horor.

Oke. Ini benar-benar horor.

"Sebuah kontrak."

Alisku bertaut. Sekarang jadi konyol.

Aku terkekeh. "Untuk apa? Dari pada kontrak ini lebih seperti perbudakan! Ini hanya akan berakhir kalau aku mati, kan?" cibirku.

Dia menggeleng, membuatku mengerutkan kening. Tapi, setan tampan itu sepertinya tak berniat menjelaskan. Terbukti dengan dia yang kini menghilang tiba-tiba.

Aku harap dia tak kembali.

¤¤¤

Di mulmed itu simbolnya. Namanya hexagram.

TouchWhere stories live. Discover now