3

40.1K 1.4K 106
                                    

Aku mengerjapkan mata. Beradaptasi dengan cahaya terang yang seolah menikam mataku dengan tiba-tiba.

Menoleh ke sekeliling, aku langsung sadar tengah berada di kamarku. Aku melirik jam dinding. Pukul tiga. Pagi?

Urgh. Terlalu pagi. Padahal tadi malam--

Aku melotot.

Ya ampun!

Apa yang semalam itu nyata? Tapi, bagaimana aku bisa ada di kamar? Seingatku aku pingsan di ruang tengah.

Apakah itu cuma mimpi?

Aku bergegas turun dari ranjang dan keluar kamar. Mataku membelalak menatap sebuah pizza di atas sofa.

Pizza pesananku semalam.

Jadi, yang tadi malam itu nyata? Dan siapa yang membawaku ke kamar?

Aku bergidik. Kuharap bukan Mbak Kunti.

Semalam aku benar-benar syok saat tahu Mbak Kunthi yang melecehkanku selama ini. Waktu kecil, aku sebenarnya punya pengalaman kurang baik dengan dedemitan jenis Mbak Kunthi. Makanya aku masih trauma.

Aku duduk di dekat pizza. Masih tak habis pikir kalau setan bisa setampan pria semalam. Dan.. yang melecehkanku waktu itu adalah kuntilanak!

Aku baru tahu kalau ternyata setan juga mengalami penyimpangan seksual. Kukira hanya manusia yang mengalami masalah semacam itu.

Aku bergidik.

Soal pengantar pizza itu.. aku akan membirkannya. Aku meringis saat membayangkan tubuhnya menghatam pintu dan menimbulkan suara bedebum yang cukup keras. Dia harus sangat bersyukur kalau setelah ini tak perlu rutin pergi kontrol ke dokter tulang.

Kruyuk.

Aku mendengus. Lapar sekali. Aku meraih kotak pizza dan menaruhnya di pangkuanku. Lalu mulai melahap potongan pertama. Tak peduli kalau pizzanya sudah dingin. Padahal biasanya aku langsung kehilangan selera makan.

Bisa dipastikan sekarang aku benar-benar kelaparan.

Aku baru berbalik, hendak berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi, tiba-tiba tubuhku membeku.

Sensasi yang sama seperti semalam.

Sebab yang sama pula.

Pria itu menatapku tepat di mataku dengan mata hitam kelamnya.

Hell.. "Mau apa?" tanyaku dengan suara bergetar karena rasa takut.

Dia berdiri tepat di depanku, dibelakang sofa. Kami hanya terhalang sebuah sofa, yang baru dibeli Kakak dua bulan lalu. Masih mulus.

Maaf. Entah kenapa aku merasa harus mengatakan omong kosong itu.

"Menagih janjimu," katanya datar, tanpa ekspresi.

Sial. "Sebaiknya kau lupakan janji itu. Aku tak sungguh-"

Prang!

Aku seketika menoleh kebelakang. Terkejut bukan main melihat guci ukuran besar kesayangan Kakak kini sudah berubah wujud menjadi pecahan-pecahan keramik berserakan macam sampah rongsokan.

"Apa yang kau lakukan?!" Aku kini menatap geram pada pria itu. Ketakutanku kini bertransformasi menjadi kemarahan.

"Memperingatkanmu."

Deg.

Pria ini benar-benar membuatku ketakutan. Kalau aku tak menurut, bukan tak mungkin lagi televisi layar datar dibelakangku akan melayang lalu menghantam kepalaku tanpa ampun.

TouchWhere stories live. Discover now