Andre Ardiyanto

16 0 0
                                    

"Bakat? Gw ga peduli. Gw cuma butuh latihan biar bisa menang."

Itulah kalimat yang paling sering ku dengar darinya. Namanya Andre Ardiyanto. Terakhir kali ku melihatnya adalah malam itu. Malam dimana bintang bersinar sangat terang dan bulan tersenyum melihat bumi. 10 tahun telah berlalu sejak hari itu, dan belum pernah aku bertemu dengannya lagi. Ia bahkan tidak menghadiri hari perpisahan SMA dulu. 

Andre rela menghabiskan harinya untuk berlatih Taekwondo. Tapi, kerasnya persaingan di kota Bandung membuatnya tidak pernah sekalipun lolos ke babak final. Meski begitu takkan ada satupun hal yang dapat mematahkan semangatnya itu. Atau begitulah dulu ku berpikir. Sampai tiba sebuah kejuaraan nasional di kota Bekasi pada awal tahun 2008 yang lalu. 

Di pertandingan pertamanya, kakinya tersangkut di bahu lawannya saat melakukan tendangan 360 derajat. Tendangan Dolke Chagi andalannya itu menyebabkannya terjatuh dan mematahkan tangan kanannya yang mencoba menopang beban badannya. Wasit menyuruhnya untuk Walk Out, tetapi ia menolaknya. Ia berhasil memenangkan pertandingan itu dengan selisih satu poin.

Pada pertandingan berikutnya, kakinya terkilir karena pendaratannya tidak sempurna saat melakukan tendangan 360 derajat andalannya itu. Wasit memberhentikan pertandingan tanpa persetujuan Andre. Merasa dicurangi, ia melakukan protes. 

"Kamu tahu gak? Kamu berdiri aja ga mampu. Apa kamu pikir kamu bisa menang cuma karena kamu mau menang?" Balas wasit terhadap protes Andre.

Dengan wajah memerah, Andre langsung pergi meninggalkannya. Ia tidak mengeluarkan satupun kata di sisa hari itu.

4 bulan telah berlalu sejak kejuaraan itu, cedera itu tak kunjung sembuh. Meski telah beristirahat selama 2 bulan penuh dan dokter sudah mengatakan bahwa ia aman untuk kembali ke rutinitasnya. Sayangnya setiap kali ia latihan, kakinya selalu kambuh. Kini, kerja keras yang dulu menjadi senjata utamanya, berbalik menyerang dirinya.

Tidak pernah lagi ku temukan Andre di tempat latihan maupun di track biasa ia melakukan lari pagi. Dan kabarnya, ia juga tidak pernah terlihat lagi di sekolah.

Hari itu, ada sebuah surat yang datang ke tempat latihan. Pelatih menyuruhku untuk mengunjungi rumahnya dan mengecek keadaannya. Ia tidak memberitahukan apa isi dari surat itu.

Aku dan Andre memang sudah bersahabat sejak SD. Ayahku sering berpindah pekerjaan. Tapi itu berubah saat kami bertemu dengan keluarga Andre. Ayah memutuskan untuk membuat bisnis sendiri. Aku tidak tahu atas dasar apa keputusannya saat itu. Aku selalu berpikir kalau ayah tidak tega memisahkan aku dengan Andre.

Bagiku Andre bagaikan seorang kakak sekaligus mentor. Ia mengajariku bagaimana caranya optimis menghadapi kehidupan, ia juga mengajariku tentang American Dream. Aku selalu mengaguminya bahkan sejak aku belum mengerti apa artinya mengagumi seseorang.

Melihatnya kini diserang oleh keyakinannya sendiri, benar-benar menyayat hatiku. Aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya usai latihan malam ini.

Rumah Andre tidak begitu besar. Rumahnya memiliki 2 tingkat. Dibawah ada ruang tamu, dan 2 kamar tidur. Diatas ada sebuah kamar tidur, ruang keluarga dan sebuah gym berukuran sedang yang biasanya dipakai untuk membesarkan otot-ototnya. Dan satu lagi, ada sebuah taman yang tidak terlalu besar di belakang rumahnya. Yang biasa digunakannya untuk melatih tendangan.

Aku tidak akan mendatangi kamarnya. Ia lebih sering berada di tamannya dibandingkan dengan kamarnya.

Seharusnya, di taman tersebut terdapat banyak bunga yang bermekaran dan sebuah samsak serta beberapa cone. Malam itu aku tidak melihat kehadiran samsak maupun cone yang biasanya tergeletak berantakan. Yang ku lihat hanyalah seorang pria berbadan tinggi besar sedang menatapi indahnya langit malam. Matanya berkaca-kaca seakan menahan pahitnya kenyataan. Merasakan kehadiranku, pria itupun menyapaku.

"Liat deh. Gw benci banget ama itu bulan. Dia kayak lagi ngetawain gw."

"Menurut gw, dia nggak ngetawain lo. Justru dia senyum dan berusaha buat ngehibur lo."

"Gw harap gw bisa seoptimis lu Nad."

"Nad?" Namaku memang Nadia, tapi Andre biasa memanggilku dengan sebutan Putri. Aneh rasanya mendengarnya memanggil nama asliku.

"You know what? We're gonna be adult next year. Jadi gw rasa ga cocok buat drama ksatria dan tuan putri lagi."

Mendengarnya membuatku tak bisa berkata sepatahpun. Justru sepertinya hatiku yang patah. Dia bukan Andre. Itu yang kuucapkan semalam penuh.

"So, are you here to talk about the letter?"

"Gw cuman pengen nyelamatin orang yang nyelamatin gw dulu." Aku pengen banget ngucapin itu, sayangnya dengan kondisi Andre yang sekarang, mungkin aku bakal dicap sebagai Drama Queen.

Andre cerita isi dari surat itu ternyata surat undangan untuk seleksi pelatnas minggu depan dan dia menolaknya.

"Lu gila? Itu mimpi lu dari SD Dre! Kok lu buang gitu aja sih?! Bego lu ya?"

"Bisa apa gw disana Nad? Atlet berbakat dari seluruh Indonesia bakal ada disana. Gw? Jadi juara di Bandung aja kaga pernah!"

"Berbakat? I'm sorry can i talk to Andre?"

"Maksud lu apa sih Nad?" Nadanya meninggi

"Sorry, kurang jelas ya? G-W MA-U NGO-MO-NG SA-MA AN-DRE. Lagian lu siapa sih kok tiba-tiba masuk ke tubuh Andre gitu?"

"Lu bisa ga sih terima kenyataan sedikit aja Nad. Kita bukan anak kecil lagi Nad."

"Kenyataan buat gw adalah Andre yang optimis yang suka kerja keras."

"Kalo gw optimis buat menang ngelawan manusia-manusia berbakat, itu namanya gw sombong Nad! Ngerti ga sih lu? Dan kerja keras? Gw yakin lu paham banget kerja keras gw malah bikin cedera gw makin parah!"

"Bakat bakat bakat bacotlah ama bakat! BAKAT ITU FANA DRE, lu sendiri yang bilang itu ke gw! Dan dre lu inget ga sih yang lu bilang ke gw dulu? If plan A is a failure, then there will always be plan B. That's why alphabet is from A to Z isn't it?"

"Nad lu ng..." Belum selesai dengan kalimatnya aku langsung memotongnya.

"Bacot Dre. Gw ngerti kok apa yang lu rasain. Gw cuman pengen lu inget, lu tuh siapa Dre. Gw ga pengen lu lupa apa yang udah lu lakuin sampe kita jadi kayak gini. Jangan lupa lu tuh siapa Dre."

Aku pun pergi meninggalkannya. Di pintu sebelum meninggalkan taman, aku berhenti.

"Dre ..." Suara tinggiku sudah tidak bisa keluar lagi. Rasanya lemas. Andre tidak menjawabnya, aku melanjutkan apa yang ingin kukatakan. "Gw... say..ng sama lu." Tangisku tak tertahan lagi. Aku berlari pulang ke rumahku. Bulan melebarkan senyumannya seakan puas dengan yang telah kukatakan.

Besok malamnya, aku mengunjungi rumahnya lagi. Tidak kutemukan sesosok pria tinggi besar yang memandangi langit. Yang kutemukan adalah banyaknya boneka manekin yang tergeletak, cone yang berserakan dan samsak yang hampir rusak.

Sesosok perempuan menghampiriku, dia adalah asisten rumah tangga yang selalu membantu Andre. Ia memberikan sepucuk surat berwarna merah. Di sana tertulis jelas 'Untuk Nadia'.

Hei Nad,

Sorry buat semalem. Thanks.

Surat yang begitu singkat, tapi aku paham maksudnya. Ia tidak menyerah. Ia kembali menjadi Andre yang dulu.

Dan sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kabar terakhir yang kudengar adalah ia mendapatkan beasiswa PTN di Jakarta.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 23, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BakatWhere stories live. Discover now