Part I Gadis Uyghur, Xinjiang?

35.2K 1.5K 82
                                    

Aku melepas pandangan dari layar redmi note. Mengistirahatkan mata yang terasa panas. Mataku terpaku pada sebatang pohon maple yang daunnya memerah di tengah taman. Batang perdunya merajai seluruh tanaman di sekitarnya. Tajuknya lebar. Amat rindang. Meski sebagian daunnya yang merah kecoklatan mulai terserak, kesan rimbun masih melekat. Kursi-kursi taman yang ditata, menambah kesan nyaman berada di bawahnya. Dan beberapa saat lalu, terlihat sejumlah mahasiswa duduk-duduk di sana, menikmati embusan angin dan daun maple yang berguguran


Begitu rapat usai, aku mengaktifkan ponsel. Suara notifikasi yang bertubi-tubi menggodaku untuk membuka pesan masuk satu per satu. Akhirnya beginilah, aku tertahan di depan ruangan para Student Assistant. Duduk di salah satu sofa sambil membaca pesan. Sebagian pesan yang berisi soal remeh temeh langsung kujawab. Sedangkan sebagian lainnya akan kubalas nanti sesampai di apartemen. Untuk menjawabnya dibutuhkan pemikiran yang matang.

Aku memasukkan redmi ke dalam saku kemeja. Bersiap pulang. Area kampus di sekitar ruang Student Assistant mulai lengang. Gedung serbaguna yang letaknya berdampingan pun terlihat sepi. Hari semakin sore. Namun, udara masih terasa hangat. Akan tetapi nanti setelah matahari terbenam, suhu di Nanjing bisa merosot hingga 10o C. Aku berdiri kemudian melangkah pergi.

Belum jauh menapak, aku melihat sesosok gadis berjalan mendekat. Dia mengenakan kain menjuntai menutupi kepala hingga dadanya. Sementara bajunya model terusan semacam cheongsham berlengan panjang. Gadis Xinjiang, tebakku.

Sesekali dia celingukan ke kanan dan ke kiri serupa orang kehilangan peta. Seolah dia tidak yakin dengan arah yang ditujunya. Entahlah.

Meski demikian, dia terus melangkah. Jarak antara aku dan dia kini tidak lebih dari satu meter.

"Permisi!" sapa gadis itu sopan dan halus, "Saya sedang mencari ruangan para student assistant?" tanya gadis itu.

Dia bertanya dalam bahasa Inggris. Dia bukan gadis Xinjiang?

Aku pun menamatkan wajahnya yang berbingkai penutup kepala dusty pink. Dia tinggi semampai. Berkulit putih. Mata agak sipit dengan hidung yang tidak bisa dikatakan mancung namun sangat sempurna menghias wajahnya. Dia terlihat cantik meski tanpa riasan apa pun. Sangat natural.

Gadis di hadapanku tidak terlihat gugup. Wajahnya tampak santai.

Saat ini aku berada di depan ruang serbaguna.

"Saya tidak dapat membacanya," jawabnya tetap ramah.

"Tidak dapat membacanya?" Aku memastikan sekali lagi.

"Ya, benar," sahutnya tegas sambil menganggukkan kepala.

"Kau tidak takut tersesat?"

"Tidak karena aku pikir semua tulisan di kampus ini disertai keterangan berbahasa Inggris."

Aku mengangguk memahami maksudnya.

"Engkau bukan dari Uyghur, Xinjiang?"

Aku mengamatinya lekat.

"Bukan! Saya dari Indonesia."

Dia menyahut santun dengan sedikit berpaling. Kami memang berhadapan. Namun, tidak sekali pun mataku dan matanya bertatapan. Padahal sedari awal, aku sudah jelas-jelas menusukkan pandangan ke manik matanya. Aku ingin membuat gadis itu membalas tatapanku.

"In-do-ne-sia?" Aku mengejanya sambil mengingat-ingat sebuah negara yang bertetangga dengan Singapura.

"Benar!" sahutnya singkat.

"Sudah berapa lama kau di sini?"

"Aku baru tiba kemarin."

"Apakah kau salah satu mahasiswa short course?"

"Benar. Maaf, bisakah engkau menunjukkan ruangan untuk para student assistant?" Dia mengulanginya

"Ruangannya di sisi kanan ruang serbaguna ini," tunjukku padanya.

"Oh, terima kasih," sahutnya lega.

"Ruangan itu terlihat kosong. Apakah mereka akan kembali ke ruangan ini?"

"Mereka tidak akan kembali karena hari sudah terlalu sore. Besok pagi saja," saranku padanya.

"Engkau mencari siapa?"

"Michael Khan."

Demi apa namaku yang disebutnya.

"Tidak salah?"

"Tentu tidak. Aku sudah mengejanya sejak beberapa jam lalu. Aku dan teman-teman telah mendapatkan daftar nama para mahasiswa yang akan mengasistensi kami."

Apa yang diutarakannya benar. Saat rapat tadi, Laoshi Tony Liem telah memberikan daftar nama mahasiswa yang akan diasistensi olehku dan teman-teman.

"Saya Michael Khan," ujarku sambil mengulurkan tangan penuh percaya diri.

Namun, beberapa detik berlalu, tanganku mengawang di udara. Tidak bersambut. Terus terang aku malu. Tidak pernah seumur hidup permintaan jabat tanganku disia-siakan. Salah tingkah. Kularikan tangan ke dalam saku celana. Gadis di hadapanku hanya menangkupkan tangan di dada dengan setengah membungkukkan badannya.

"Maaf, saya ada wudu," jawabnya formal, "Sekali lagi maaf! Bukan maksud saya-"

"Wudu?" potongku

"Ya, wudu! Saya baru selesai salat asar."

"Salat eehh... eehh..."

"Kamu tidak tahu apa itu wudu dan salat?"

"Tidak."

"Tidak?" Mata indahnya membelalak. Saat itu mataku dan matanya bersitatap. Pandangannya mampu menghipnotisku. Ada desir halus menelusup. Dia terlihat sangat memesona.

"Iya."

"Tetapi namamu adalah Khan"

"Namaku Khan. Apakah ada yang salah memiliki nama Khan?"

Dia menggeleng lalu bergegas pergi.

"Hei, aku yang akan mengasistensimu. Kau bisa menanyakan apapun tentang bahasa Mandarin dan perkuliahan di kampus ini."

Dia tidak menghiraukan perkataanku. Dia berlalu tanpa menoleh lagi.

Ada apa dengan nama Khan?


Cheongsam: pakaian khas wanita China


Khan: Sepenuh CintaWhere stories live. Discover now