Yang benar akan selalu Menang

31 0 0
                                    


Aku adalah Seira, anak tunggal dengan ayah sebagai jaksa terkenal di negaraku. Sedangkan ibuku seorang ibu rumah tangga. Keluarga kami merupakan keluarga yang tidak berjalan baik, ini semua karena ayahku yang sering keluar kota untuk bekerja. Setiap aku menelponnya dia selalu saja sibuk, seakan – akan kami bukanlah prioritasnya.

Aku adalah anak yang tidak memiliki kebebasan dalam menjalani kehidupan. Aku dipaksa untuk menjadi seorang jaksa layaknya ayahku. Dan tidak lain, ini semua keinginan dari ayahku. Sempat aku memberontak, namun hasilnya nihil. Aku tidak bisa memungkiri perkataann ayahku.

Ibuku adalah orang yang sangat menyayangiku. Berbeda dengan ayahku yang suka memaksa, ibu selalu memahamiku. Dia paham bahwa aku tidak ingin menjadi seperti ayah yang merupakan jaksa yang terkenal karena selalu dapat memenangkan sidang pada kasusnya. ibuku adalah orang yang sangat berharga bagiku.

Aku dan ibu pernah menghadiri persidangan dengan ayahku yang menjadi jaksa pada kasus tersebut. Melihatnya sekali saja sudah membuatku bosan, hal ini membuatku berfikir "hukum adalah hal yang membosankan". "Bagaimana ayah mau menjadi seseorang yang menjalani hal membosankan seperti ini?" benakku.

Saat ini aku duduk di kelas 3 SMA. Bersekolah di SMA Negeri favorit di daerah ku. Di sekolah, aku adalah orang yang sangat disegani. Bukan karena diriku, melainkan karena orangtuaku. Keadaan ini membuatku risih. Dijauhi dan diasingkan selalu terjadi padaku. Aku malah berpikir lebih baik aku tidak memiliki orangtua seperti itu.

Hari – hari berlalu. Sampai pada akhir dari kelulusan, tanpa kepastian dariku, ayahku telah mendaftarkan ku ke sekolah hukum. Keputusan ini membuatku benci kepada ayahku. Aku berpikir untuk pergi dari rumah, namun aku teringat pada ibuku. "ah, ini membuatku semakin tertekan. Apa yang harus aku lakukan?" keadaan ini sangat membuatku tertekan. Tapi masih ada ibu, dia menenangkanku saat aku sedang dalam keadaan ini. Dia mengatakan bahwa ini adalah pilihan terbaik bagiku dan lebih baik aku menjalaninya. Hal ini yang membuatku siap untuk mengikuti keputusan ayahku.

1 tahun setelah mengikuti pembelajaran, aku diberikan tugas oleh dosen ku untuk menghadiri sidang dan mengambil kesimpulan dalam sidang tersebut. Karena ayahku adalah seorang jaksa, maka aku menelpon ayahku untuk bertanya kepadanya apakah dia memiliki kasus dalam waktu dekat ini. Ayah bilang ada kasus yang akan diselesaikannya dalam waktu dekat ini. Aku pun menghadiri sidang dengan dia sebagai jaksa untuk kedua kalinya.

Pagi ini aku mengahadiri persidangan ayahku. Sidang ini begitu menyedihkan dan mengesalkan. Sidang ini mengenai kasus dimana seorang kakek tua yang mengambil sebuah melon dari kebun milik perusahaan besar. Ini sangat membuatku merasa aneh. "mengapa hanya mengambil sebuah melon dikasuskan seperti ini? Pemiliknya memiliki ladang yang besar, apakah tidak bisa memberikan sebuah saja untuk kakek ini?" disini ayahku menjadi jaksa dalam sidang ini, sedangkan sang kakek hanya ditemani oleh keluarganya.

Keputusan Hakim yang mengatakan bahwa kakek bersalah dan memenjarakannya karena hal ini sangat membuatku sedih dan kesal. "sebeginikah toleransi hukum? Sedangkan masih banyak koruptor di sekitar kita. Selucu ini kah?". Sidang berakhir dengan tangisan dan kemarahan dari pihak kakek tua ini. Selesai sidang aku menemui ayahku untuk menanyakan hal ini. Namun jawaban ayah sangat tidak ku senangi. "kenapa tidak ada toleransi dalam hal seperti ini? kenapa ayah juga ikut menyalahkan si kakek tua itu?" tanya ku pada ayahku. Ayahku hanya menjawab "yang terpenting kasus selesai, dan kita dibayar. Itu saja." hal ini sangat membuatku kecewa pada ayah, bahkan di benakku hanya dapat mengatakan "seperti inikah yang dijalankan ayahku selama ini?". Setelah sidang ini, aku membuat tekad bahwa aku tidak akan menjadi seperti ayahku, dan aku akan menegakkan keadilan yang nyata.

Sore hari sepulang ke asrama, akupun membuat kesimpulan dari sidang tadi. Aku terus megingat apa yang telah dikatakan ayahku. Setiap aku melupakannya aku selalu teringat, kata kata itu membuatku benci dengan ayahku. Tapi aku telah bertekad, "aku harus belajar keras dan berusaha untuk menjadi lebih hebat. Bahkan lebih hebat dari ayahku."

4 tahun berlalu, aku pun lulus dengan nilai yang memuaskan. Bahkan menjadi lulusan terbaik tahun ini dengan gelar sarjana hukum. Ini sangat membuat ayah dan ibu bangga. Kebahagiaan ku pun kutuangkan kepada mereka. Tidak. Tidak dengan ayahku, cukup ibuku.

Pendaftaran sertifikasi pengacara akan dilaksanakan bulan ini. karena aku menjadi lulusan terbaik di universitasku, aku direkomendasikan untuk mendaftar oleh universitasku. Dan sesuai perkiraanku, aku pun lulus menjadi pengacara dan telah disertifikasi. Di bulan pertama setelah sertifikasi, aku mendapatkan kasus pertamaku. Kasus ini mengenai pembunuhan yang terjadi di kota sebelah. Aku di tawarkan untuk menjadi pengacara terhadap keluarga korban. Aku pun menerima tawaran itu.

Di hari persidangan, orangtuaku datang untuk sidang pertamaku. Disini aku sangat gugup, dilihat oleh orangtuaku ditambah dengan pertama kalinya aku menjadi pengacara di sidang sungguhan. Tapi ini tidak membuatku mundur. Aku sudah bertekad bahwa aku akan mengalahkan ayahku suatu saat nanti. Wajah ibuku yang tersenyum membuatku tenang.

Sidang pun berjalan lancar, dan pelaku dihukum mati sesuati dengan keputusan hakim. Sidang pertamaku berhasil kumenangkan. Selepas sidang, ayah dan ibu mendatangiku dan mengucapkan selamat atas keberhasilanku. Hal yang dulunya tidak kusukai menjadi hal yang membuatku merasa bahagia, sangat tidak masuk akal.

Setelah kasus ini, banyak para korban dari kasus – kasus yang menginginkanku untuk menjadi pengacara. Sampai pada satu kasus, kasus ini mengingatku tentang persidangan ayahku pada tahun kedua pembelajaranku. Yaitu kasus pencurian. Kali ini, kasusnya mengenai pengambilan 3 buah Cokelat oleh anak – anak. "sangat aneh, bahkan cuma 3 buah kakao diambil anak – anak sekalipun harus bermain dengan hakim."

Aku ditawarkan untuk menangani kasus ini sebagai pengacara dari perusahaan pemilik kebun. Dengan senang hati, aku menolak penawaran ini dan mengatakan kepada mereka kenapa tidak menyelesaikan kasus ini dengan kekeluargaan saja. Namun mereka menolak dan marah atas perlakuanku kepada mereka.

Terbesit dalam benakku untuk membantu si anak, "tapi bagaimana?". Untuk ini, Aku pun mencari informasi mengenai keluarga si anak. Pencarianku berjalan baik. Aku menemukan mengenai informasi keluarga si anak. Aku mendatangi keluarga si anak. Aku menceritakan kepada ayahnya bahwa aku rela dengan senang hati untuk membantu si anak dalam persidangan. Orangtua si anak sangat senang dan menangis terharu atas keputusanku ini.

Sampai hari persidangan dilaksanakan, di tempat persidangan aku menemui ayahku. "ayah?" dalam benakku. aku langsung menemuinya. "kenapa kamu disini? Tanya ayahku "oh, aku membantu si anak dalam kasus ini. ayah sedang apa disini?" jawabku santai. Ayah ku terdiam, sikapnya tiba – tiba berubah. "kenapa kamu membantu si anak? Apakah kamu dibayar?" tanya ayahku dengan kesal. "tidak, aku ikhlas membantunya. Aku tidak akan membiarkan anak itu dipenjara atau kena hukuman hanya karena 3 kakao." Jawab ku dengan semangat. "cih, kamu tidak akan bisa menjadi pengacara hebat jikalau begini." Ucap ayahku dan langsung meninggalkanku.

Aku pun langsung duduk di kursi pembela si anak, di depan sejajar dengan ayahku. Tatapan sinis ayahku membuatku merasa kesal. Dan ini merupakan hal yang kuinginkan dari dulu serta tujuanku untuk menjadi pengacara. Mengalahkan ayahku disidangnya.

Sidang berjalan dengan sangat rumit, ketidakmauan kalah ayahku membendungku untuk memenangkan sidang ini. tapi aku juga tidak mau kalah. Aku tetap berjuang untuk anak ini. Hakim mengizinkanku untuk berbicara "terima kasih atas waktu dan tempat yang telah diberikan. Pak hakim, saya tidak setuju atas pendapat dari pihak pelapor. Karena 3 buah Kakao seorang anak harus masuk ke penjara. Ini bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Jikalau pihak pelapor tidak ingin dengan cara kekeluargaan, maka kami dari pihak pelaku meminta keringanan untuk menyelesaikan kasus ini dengan penggantian barang dengan nilai uang yang sesuai." Perkataan saya ini membuat ricuh persidangan. Hakim pun menyuruh para peserta hadir untuk tenang. Perkataan saya ini menjadi perundingan pada hakim. Perundingan akhir pada hakim membuat ku gembira, karena kali ini aku memenangkan sidang dengan ayahku. Ayahku sang pejaksa hebat, dikalahkan oleh pengacara pemula sepertiku.

Aku sangat bersyukur atas apa yang terjadi saat ini. Selepas sidang, ayahku sangat marah kepadaku, dan langsung pulang meninggalkanku. Dari kisah ini akhirnya aku paham, kita akan tetap benar, jika kita berada dalam kebenaran. Dan kita tidak akan pernah menangdengan kesalahan yang kita bela. Karena kebenaran tidak akan pernah kalah.

Real JusticeWhere stories live. Discover now