Day 8; Aggro

19 4 0
                                    

Gemeretak geligi terdengar beberapa kali. Seiring dengan patahan biskuit yang menembus kerongkongan. Berulang kali, hingga stick lapis cokelat itu nyaris tak bersisa di tempatnya.

Matanya yang seolah cahaya akan redup hanya memandang lurus ke arah depan. Di mana ada beberapa perempuan berseragam sama dengannya cekikikan laiknya wanita penggoda. Ah, sungguh mengganggu.

Ia bangkit. Menuju tempat kerumunan hawa itu. Kedatangannya yang mendadak membuat mereka terkejut, sebelum akhirnya menyapa dirinya.

"Bisakah kalian berhenti tertawa seperti itu? Tawa kalian mengingatkanku akan pelacur yang berada di bar malam yang ada di film kesukaanku."

Menusuk. Tepat sasaran. Lawan seketika bungkam. Sementara sang penyerang segera beralih langkah. Meninggalkan mereka yang masih membisu karena berhasil dibalas telak olehnya.

Itu hanya bertahan beberapa menit, sebelum akhirnya berubah menjadi bisik-bisik dengan dirinya sebagai topik utama. Persetan dengan itu. Ia tidak memedulikannya sama sekali. Karena dirinya sudah nyaman dengan apa yang ada saat ini.

Orang mengenalnya sebagai lelaki berlidah tajam. Sekali mengeluarkan kata, langsung menghunjam di dada. Salah satu alasan utama mengapa dirinya tidak memiliki teman di masa peralihan ini.

Dirinya heran. Sungguh. Padahal ia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya. Mengatakan sesuai apa yang direkam oleh matanya. Jadi, mengapa semuanya membencinya?

Melontarkan tanya kepada diri sendiri yang langsung dibalas oleh kekehannya. Ia melupakan salah satu sifat menjengkelkan manusia; hanya suka pada sesuatu yang indah, tanpa peduli itu hanya sesuatu yang semu.

Dan dirinya sama sekali tidak masuk ke dalam kategori itu. Baginya jelek, maka akan ia katakan jelek. Jika salah, maka ia tak sungkan menyalahkan. Membuatnya beberapa kali terdepak dari kelas karena ketidaksukaan guru terhadap kejujurannya.

Kejujuran nan tajam, siapa yang tidak merasa terhinakan?

Namun, ia melupakan sesuatu yang sama menjengkelkannya dengan kebiasaannya itu. Ia hanya mengatakan kejujuran kepada orang lain. Sementara untuk jiwanya, ia lebih senang memberikan kepalsuan berkedok pertahanan.

Lagi, ia mengeluarkan suara. Kali ini tawa sumbang yang terdengar miris begitu menyadari kebohongan yang ia tumpuk selama ini di dalam dirinya. Yang dilampiaskan dengan cara membuka aib orang lain.

Setelah seharian menyendiri di dalam kelas, akhirnya ia bisa kembali ke rumahnya. Rumah besar yang begitu suram. Tempat di mana dirinya bisa melepas topeng menjengkelkan itu tanpa takut diketahui siapapun.

Bersiul pelan, ia mulai mengganti baju seragam dengan kaos beserta celana pendek. Langkahnya kemudian menuju dapur, mengambil beberapa camilan tak sehat, lalu membawanya ke depan televisi.

Sofa usang yang ada seketika memantulkan debu begitu diberi beban tubuh ringkihnya. Sebelah kaki naik ke atas meja kaca, sementara satunya menumpang di atas yang lain. Jemarinya dengan sigap mengambil gumpalan di mangkuk, lantas memasukkannya ke dalam mulut yang terkatup rapat.

Ia diam-diam tertawa ke arah televisi yang tak menyala. Oh, jangan berburuk sangka. Dirinya tengah menonton kehidupan yang ia jalani. Kosong dan gelap, seperti layar persegi panjang di depannya.

Semenit kemudian, tawa itu mengalir menjadi getaran ke bahu. Yang selanjutnya berubah menjadi isak tertahan seiring tangannya yang membuang segala benda di dekatnya. Tertopang tangan, wajah itu terpekur menghadap bumi. Mulai menyesali apa yang sudah dilalui.

Selama ini, ia yang tak mendapatkan apa-apa semenjak ada, hanya berusaha meminta secuil perhatian. Berawal dari pujian guru di masa kecil yang menyukai tindakannya berkata jujur, yang berlanjut menjadi sesuatu kebiasaan yang menjengkelkan; dengan resiko ia hanya ditahu sebatas nama oleh sekitar.

"Sudahlah. Toh juga kau tidak memerlukan mereka, bukan?"

Kebohongan ke sekian kali ia lontarkan kepada jiwanya yang terpuruk. Berusaha menghibur dengan ujung malah semakin mengubur. Jiwanya mendadak kaku, membuat orang tak bisa memandang apapun selain kekosongan pada netra hitam itu.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia berkata jujur kepada diri sendiri yang semakin merapuh.

'Aku ingin diperhatikan.'

.

Pancor, 08 November 2018

[Completed] (Now)vemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang