2

411 68 15
                                    

2.

"kamu percaya takdir? jangan tanya padaku, aku tidak berpikir demikian."

"Mingyu, Seokmin, kayaknya setelah ini bakal hujan lagi deh, liat; langitnya mulai meredup." Kedua pemuda tampan kini memusatkan pandangannya ke arah yang menerawang jauh ke atas, "ayo pulang, latihannya dilanjut besok."

"Ramalan cuaca bilang tak akan hujan, padahal." Mingyu berjalan ke pinggir lapangan. Meneguk setengah dari isi botol minumnya. Seokmin dan Jun mengikutinya. Duduk sejenak mengistirahatkan tubuh lelah mereka sehabis berlatih basket.

"Mungkin, stasiun televisi harus mengganti tempat meramal. Dari kemarin bilangnya akan panas. Tapi apa, bahkan aku terjebak di sekolah." Seokmin mendengus dan mengoper bola basket milik Jun.

"Hmm, benar. Aku harus segera pergi. Aku takut Wonwoo nantinya akan kebasahan." Jun bangkit dari duduknya, melambai singkat dan berlari meninggalkan keduanya yang masih betah menyelonjorkan kakinya.

"Kau oke, Gyu?" Seokmin membuka tutup botol minumnya, tak menoleh ke arah Mingyu yang tersenyum pahit.

"Sudah takdirnya mereka bersama, aku tak bisa apapun." Mingyu mengusak surai hitamnya sedikit. Merasa gerah, mungkin? Seokmin terkekeh. Dia tak begitu percaya takdir. Kalau misal sahabatnya itu berusaha lebih keras lagi, pasti ia bisa mendapatkan cintanya itu.

"Kau masih ada kesempatan, Gyu. Bahkan kau belum mengutarakannya pada Wonwoo."

"Dan membuat hubungan pertemananku dengan Junhui hancur? Tidak, terima kasih Seokmin. Lebih baik aku patah hati karena cinta tak terbalas daripada kehilangan temanku." Mingyu tersenyum berusaha mengatakan kalau dia tak akan melakukan perbuatan sekeji itu kepada teman seperjuangannya.

Seokmin terdiam. Ya, dia tak memikirkan bagaimana Jun akan berperasa. Yang ia tahu hanya bagaimana Mingyu berhenti kesakitan. Tapi, Mingyu dan Jun lebih lama berteman, Jun juga tak tahu kalau Mingyu ternyata suka dengan pacarnya. Jun orang baik, dan juga terlalu mudah memaafkan. Seokmin yakin, kalau saja Jun tahu Mingyu menyukai Wonwoo, dipastikan Jun akan memutuskan hubungannya. Tak peduli apapun.

"Kalau begitu, balik sekarang yuk. Kita 'kan bawa motor." Mingyu berdiri menepuk celana seragamnya yang tertempeli sedikit debu. Mingyu melihat Seokmin merenung, dilepaskannya satu pukulan di bahu Seokmin.

"Hei, aku tak selemah itu, asal kau tahu. Jangan dipikirin, nanti kau makin bodoh." Seokmin menoleh dan menyengir, dia mengangguk dan berdiri. Keduanya berjalan menuju parkiran motor, lalu sejenak Seokmin teringat.

"Astaga, aku lupa kalau aku bawa mobil." Mingyu menatap sobatnya itu dengan pandangan anehnya.

"Tumben bawa mobil?"

"Ibuku mengamuk ketika kemarin aku kehujanan." Mingyu tergelak dan mendorong bahu Seokmin main-main. Seokmin menatapnya bingung.

"Ada yang salah??"

"T-tidak, hahahaha, hanya saja lucu ketika kau menyebut ibumu memarahimu karena kehujanan. Kau ini kelas berapa sebenarnya? Dasar anak mama!" Seokmin mencibir dan berjalan memutar balik. Parkiran motor dan mobil dipisah. Dan lumayan jauh.

"Diam kau, Kim. Masih baguslah aku anak mama, daripada kau anak setan."

"HEI! KAU MENGATAI ORANG TUAKU SETAN? DASAR BEDEBAH." Seokmin tertawa mendengarnya dan cepat-cepat berlari meninggalkan areal parkir motor sebelum temannya itu menimpuk kepalanya menggunakan batu bata.

Sekolah lagi-lagi sudah sepi. Jarang orang berlalu lalang, kecuali petugas kebersihan sekolah dan beberapa guru yang lembur. Dimasukkan tangannya ke dalam saku dan berjalan tenang menuju parkiran mobil. Setelah itu dia bertandang ke dalam mobil putihnya lalu mulai menghidupkan mesinnya. Selamat, beberapa saat dia masuk mobil, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Memasukkan handphonenya ke saku ia mulai mengaktifkan wiper kaca. Mobilnya melewati depan lobby. Dia melihat sosok yang sempat membuatnya penasaran. Karena lobby mereka ada tempat drop-off dilengkapi atap sedikit, Seokmin memberhentikan mobilnya.

Membuka kaca lalu memanggil sosok yang terdiam menunggu hujan mereda barang sedikit.

"Jisoo?" Yang dipanggil membelalakkan mata bulatnya dan langsung tersenyum menyapa. Ya ampun lihat betapa manisnya pemuda satu ini.

"Halo, Seokmin." Seokmin tersenyum memperlihatkan giginya. Makin terlihat tampan. Seolah tersihir, Jisoo tak berkedip.

"Menunggu hujan?"

"Ya. Kamu mau pulang? Hati-hati ya. Jalanan pasti licin." Gemas. Satu kata di benak Seokmin melihat Jisoo menasihatinya.

"Ayo, naik."

"Eh? Tak perlu repot-repot Seokmin. Aku akan menunggu hujan hingga sedikit reda,"

"Kamu tak bawa payung?" Seokmin menatap Jisoo yang menggeleng lucu. Seokmin terkekeh dan turun dari mobilnya, mendekati Jisoo dan menarik lengannya.

"Tak apa, aku tak merasa direpoti. Ayo. Aku tak ada niat jahat, di sini lebih seram, bagaimana jika ada sosok halus—" Bahu Seokmin dipukul pelan. Menyuruhnya untuk berhenti berbicara.

"Jangan bicara yang aneh-aneh, Seokmin!" Bibirnya mengerucut kesal. Seokmin terkekeh dan mengusak surai Jisoo pelan.

"Iya, maaf. Makanya ikut ya?" Jisoo mengangguk. Lebih baik menerima tawaran Seokmin daripada ada hal-hal seram menghampirinya.

"Oh iya, Jisoo. Kita ketemu lagi di saat hujan ya omong-omong." Setelah keduanya masuk, Seokmin membuka pembicaraan. Jisoo mengangguk mengiyakan. Netra madunya melirik ke arah Seokmin yang terlihat begitu berbeda dari kemarin. Ia bahkan tersenyum sepanjang perjalanan.

"iya, ramalan cuacanya tak pintar. Sepertinya aku harus bawa payung mulai besok, tak peduli jika penyiar bilang hari ini tak akan turun hujan." Jisoo menatap ke luar dan berdecak.

"Lalu, aku juga penasaran, boleh bertanya?" Jisoo menelengkan kepalanya dan terdiam, tanda ia menunggu Seokmin melanjutkan.

"Kemarin kamu bilang, hujan itu aneh. Kenapa?" Seokmin melirik sekilas dan fokus kembali ke arah depan. "Kamu tak suka hujan?"

"Bukan tak suka sih, lebih menjurus tak mengerti. Bagaimana dia masih mau kembali ke awan yang jelas-jelas membuangnya ke tanah, lalu, tanah menerimanya dengan baik, lalu, hujan malah repot-repot untuk kembali lagi ke atas, tanah merelakannya. Bukankah itu menyebalkan? Jangan bilang takdirnya begitu. Aku tak ingin berbicara tentang takdir." Jisoo mengamati perubahan mimik Seokmin yang seperti tercengang mendengarnya.

"Apa?"

"Aku tahu aku aneh Seokmin. Tapi, aku tak percaya takdir. Kenapa orang segampang it mengaitkan apapun yang menimpanya karena takdir. Kalau hal buruk terjadi, seharusnya mereka tak bilang karena takdir! Mereka saja yang tak mau berusaha sedikit lebih banyak lagi."

Seokmin tersenyum hangat.

"Kamu tak aneh kok, Jisoo. Karena akupun begitu, sama, tak percaya takdir. Tapi anehnya, detik ini seakan aku percaya. Bertemu denganmu adalah sebuah takdir termanis yang pernah aku dapatkan."

"G-gimana?"

"Besok tak usah bawa payung, aku akan mengantarmu pulang."

.

.

.

A/N

sumpa demi apapun aku gemes sama Seoksoo. updatean seventeen Jisoonya ada di sebelah Seokmin pas motong-motong daging gaje :( untung sayang -hjs

enjoy.

Hujan di Kala Senyap - seoksooWhere stories live. Discover now