1 - 8

1.4K 271 87
                                    


SECRECY.

----

Siang itu hujan deras ketika Bobby keluar dari bangunan besar yang menjulang seperti jarum jam menantang langit. Ia meninggalkan bangunan itu di belakangnya dengan sebuah payung sebagai penyanggah air yang menimpanya seperti tumpahan kerikil.

Bobby hendak menuju halte ketika sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti pelan di sampingnya. Tidak perlu mengintip ke dalam, Bobby telah mengenali siapa sosok di balik kemudi itu. Bobby menguncupkan payungnya dan masuk.

"Halo, By?" sapa wanita dengan kaos hitam ketat yang duduk di bangku kemudi. Rambut hitam wanita itu tertarik ketat ke atas seakan dijambak, membentuk kunciran tinggi. "Atau harus kusapa, Bobby sekarang?"

"Hai, kak." Bobby mengabaikan nada sinis diakhir ucapan wanita itu. Ia menyapu tetesan hujan di pundaknya.

"Aku hendak latihan tadi, tapi aku melihatmu."

"Ah, ya, iya. Aku memang dari sana."

"Ada yang melihatmu di sana?"

Bobby menggeleng. "Hanya beberapa junior dan petugas kebersihan."

"Kau tau kau tidak seharusnya berada di sana, By."

"Aku tau. Aku hanya..., ingin melihat-lihat."

"Beliau tidak ingin melihatmu lagi." suara wanita itu yang dingin membungkam Bobby.

"Tidak ada yang berani menyebut namamu di sana. Tindakanmu benar-benar memberi pengaruh buruk kepada asosiasi kita, kami maksudku."

"Maafkan aku, kak Nao. Aku tidak bermaksud merugikan kalian."

"Aku rasa selalu ada risiko untuk setiap tindakan, bukan?" wanita itu tersenyum. Ia menyandarkan punggungnya rileks sementara kepalanya menoleh ke arah Bobby sekilas. "Aku tidak menyalahkanmu. Kau mengambil pilihan untuk hidupmu. Hanya saja, beliau tidak mengerti itu."

"..."

"Omong-omong, bagaimana kabarmu? Aku mendengar kau berkencan dengan Jongin. Tapi aku tidak mengerti mengapa kau mengganti namamu."

"Ceritanya rumit." Bobby menyahut sambil menatap kalung salib emas yang tergantung di kaca spion depan. Bobby mengenalinya sebagai barang berharga milik Nao. Peninggalan orangtua wanita itu.

"Dan kabarmu?" Nao meliriknya lagi.

"Aku baik. Sangat baik."

"Bagaimana dengan lenganmu?"

Pertanyaan itu membuat Bobby menyentuh lengannya yang sempat cedera beberapa minggu yang lalu. "Ini mulai membaik, hanya sedikit menusuk ketika dingin.-

Fisioterapiku berjalan lancar. Beberapa kunjungan lagi maka aku akan bebas bermain lompat tali." Bobby terkekeh.

"Well. Aku senang mendengarnya." Nao tersenyum. Ia menyalakan mesin mobilnya tak lama kemudian. "Kau ingin kemana? Aku bisa mengantarmu."

"Kau tidak perlu repot, kak. Aku bisa mampir ke Halte. Kau harus latihan."

"Oh, jangan dipikirkan." Nao memutar mata.

"Kau bukan satu-satunya pembangkang di sini."

-----

"Terimakasih." adalah ucapan Bobby yang nyaris seperti pekikan. Berlomba dengan derasnya hujan agar suaranya terdengar.

Ia menutup pintu mobil Nao dan melenggang tergesa-gesa memasuki gedung apartemennya. Suara hujan tidak begitu bising ketika di dalam ruang. Penghangat ruangan yang menyala membuat gigilannya berkurang, tapi tetap saja ia merapatkan mantelnya.

HIGH HEELS (PCY)Where stories live. Discover now