24 - SEPASANG SEPATU

Start from the beginning
                                    

Seketika aku jadi ingin sekali memeluk Boy. Maka dengan cepat aku segera meraih tubuhnya. Dan tanpa bisa ditahan air mata pun keluar begitu saja.

"Tuh kan... Kamu lagi sedih.." ujar Biy langsung menyadari kalau aku sedikit terisak.

"No... I'm okey... Aku hanya ngiri lihat kamu dan keluarga kamu" bisikku dalam pelukannya.

"pasti kamu kepikiran lagi keluarga kamu kan?" Tanya Boy. Aku hanya mengangguk kecil menjawabnya.

"Baby... Aku tahu rasanya di posisi kamu kayak gimana. Tapi kamu harus sabar. Bukan perkara mudah bagi orang tua menerima anaknya yang seorang gay. Tapi kamu harus percaya, akan ada hari dimana kamu bisa kembali ke pelukan keluargamu. Kalaupun memang terlalu lama itu terjadi, aku selalu bilang sama kamu jadikan keluarga aku sebagai keluarga kamu juga. Toh keluargaku juga selama ini sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga juga. Kamu jangan terus merasa kehilangan sosok keluarga. Aku pacarmu, tapi aku juga keluargamu" jelas Boy.

Aku langsung mengeratkan tanganku memeluknya.
"Makasih ya Boy..."

Gak lama setelah itu Boy melepaskan pelukanku. Ia mengangkat wajahku sehingga aku sedikit menengadah menatap matanya. "Pokoknya, selama aku pergi kamu bebas bawa siapapun teman kamu ke sini. Teman kamu itu banyak banget. Lebih banyak dari aku. Relasi kamu luas. Aku gak mau kamu merasa kesepian. Merasa sendirian. Jadi silahkan kamu ajak teman-teman kamu. Makanya kenapa aku minta Denis di sini juga supaya kamu ada teman"

Perkataan Boy itu sontak membuatku merasa semakin sayang padanya. Boy tidak seegois aku. Ketika aku harus meninggalkannya sendirian di apartemen disaat aku bekerja, selalu banyak sekali pikiran negatif kalau Boy akan melakukan sesuatu. Tetapi sekarang justru Boy memberikan kebebasan padaku. Bahkan dia rela membiarkan Denis, orang yang menyukaiku untuk tinggal bersamaku. Boy sama sekali tidak berpikir macam-macam terhadapku. Ia hanya ingin melihat aku bahagia. Melihatku tidak kesepian.

"Makasih Boy..." Aku kembali memeluk tubuhnya.

Dia benar.
Teman-temanku banyak sekali.
Tapi bisa dihitung berapa orang yang dekat denganku. Maksudnya yang aku anggap lebih dari sekedar teman saja. Yang dekat denganku memang banyak. Tetapi sahabat atau teman spesial mungkin gak sampai sepuluh orang. Itupun satu persatu mulai berjauhan. Entah karena usia yang menyebabkan lingkup pertemanan mengecil, atau karena kesibukan yang pada akhirnya masing-masing jadi fokus pada menata masa depan untuk membina keluarga.

Sahabat-sahabatku di masa kuliah pun pada akhirnya jadi terpisah berjauhan. Meski selalu ada komunikasi, tetapi gak seintens jaman dulu. Bahkan komunikasi dengan mereka pun perlahan mulai jarang sekali dilakukan. Sekarang, aku merasa hanya punya Boy seorang setelah Alvin berubah menjadi orang paling brengsek di mataku.

Mbak Lea, Mbak Clarissa, Mas Galuh? Ya. Mereka orang terdekatku juga. Tetapi aku masih tidak mengerti hubungan kami itu jelasnya apa? Mungkin karena perbedaan usia juga yang pada akhirnya hubungan kami lebih kepada seorang adik dan kakak. Itu pun aku masih ragu dengan Mas Galuh dan Mbak Clarissa sekarang. Apa iya mereka masih mau menganggapku sebagai adiknya?

Tapi sebentar.
Kenapa aku jadi teringat seseorang? Aku yakin betul, ada satu sahabatku waktu kuliah yang mendapat kerja di Jakarta. Kalau gak salah dia juga kerja di televisi swasta sepertiku. Kenapa juga aku gak menghubunginya?

"Sayang... Kok kamu diam saja? Kamu gak apa-apa kan?" Tanya Boy.

Aku langsung tersadar.
"Eh, maaf Boy... Enggak kok, aku udah gak kenapa-kenapa. Makasih banget yaa..." Kulepaskan pelukanku.

"Ya udah kalau gitu sekarang kita makan dulu" Boy mengusap sisa air mata di wajahku.

Aku mengangguk mengiyakan.
Maka dengan segera kami pun langsung ke meja makan. Boy membuka bungkusan nasi yang kami bawa dari Bogor. Lalu makan siang bersama setelah itu.

LUST for LOVE (2)Where stories live. Discover now