24 - SEPASANG SEPATU

2.7K 261 77
                                    


"Jauh itu hanya sebuah jarak. Tapi hati, selalu dekat seperti sepatu dan talinya. Yang kemana-mana selalu bersama" ~ Boy Alexander.

==================

"Alhamdulillah sampai juga" kataku ketika Boy baru saja mematikan mesin mobilnya.

Aku langsung turun dan kubawa satu tas miliknya yang disimpan di kursi belakang.

Hari ini, jam setengah satu siang. Aku dan Boy baru saja tiba dari Bogor. Boy akan terbang ke Filipina jam sembilan nanti malam. Maka selepas kerja kemarin, aku dan dia langsung berangkat ke rumahnya. Dan hari ini aku minta cuti dari kerja.

Selalu ada perasaan cemburu manakala melihat sebuah keluarga yang begitu hangat. Mungkin aku egois kalau berbicara seperti ini. Karena pada kenyataannya di luar sana masih banyak juga anak yang tidak mendapatkan keluarga yang harmonis. Tapi perasaan cemburu itu tetap saja selalu melintas disaat mataku menyaksikan bagaimana hubungan sebuah keluarga yang luar biasa perhatian pada anaknya. Boy bukanlah seorang anak kecil, tetapi aku melihat dan ikut merasakan bagaimana suasana haru orang tuanya untuk melepas Boy pergi ke Filipina. Padahal negara yang dijuluki Lumbung Padi ASEAN itu adalah tanah kelahiran ayahnya. Dan Boy bukanlah orang asing juga kalau pun harus tinggal di negara itu. Tapi tetap saja, orang tua yang begitu sayang pada anaknya akan merasa ditinggalkan. Kuliah bukanlah waktu yang sebentar. Meski jarak Jakarta - Manila itu tidak begitu jauh, tetapi bukan berarti Boy bisa pulang setiap sebulan sekali.

Ah, aku jadi terus menerus ingat keluargaku. Kepedulian terakhir mereka yang luar biasa diberikan padaku adalah disaat aku terbaring di rumah sakit pasca pengeroyokan waktu itu. Setelahnya? Ya. Mereka sudah menerimaku sebagai seorang gay, tapi sikapnya tidak berbeda jauh seperti sebuah keluarga tiri pada anak pungutnya yang suka aku lihat di film-film. Mereka tidak sekedar dingin, tapi seolah aku ini hanya pelengkap keluarga saja. Ada atau tanpa aku pun sepertinya gak ada masalah bagi keluargaku. Bahkan bisa jadi kepergianku dari rumah adalah sebuah kebaikan bagi mereka. Berbeda sekali dengan Boy. Keluarganya nampak begitu berat untuk melepas Boy. Padahal selama ini Boy juga di Jakarta, dan jarang sekali ada di rumah. Ia gak pulang sebulan sekali apalagi dua Minggu sekali. Boy selalu pulang ke Bogor semau dia.

"Sayang... Kamu senyum dong... Dari semenjak di mobil kamu hanya diam saja. Bagaimana aku bisa pergi kalau kamu masih seperti ini..." Ujar Boy saat aku membuka pintu apartemen.

Belum ada jawaban yang kuberikan. Kami pun segera masuk. Aku meletakkan tas yang kubawa di sofa. Sementara Boy begitu saja meletakkan koper yang dibawanya di dekat pintu.

Aku segera mengambil air minum ketika tiba-tiba saja Boy memelukku dari belakang. "Sayang... jujur aja aku gak mau pergi. Aku lebih memilih di sini bersama kamu. Tapi..."

"Boy.. kamu apaan sih?" Aku segera meletakkan gelas di tanganku dan melepaskan pelukan Boy.

Lalu berbalik menghadap ke arahnya. "Aku gak apa-apa kamu pergi. Aku harus berapa kali lagi meyakinkan kamu kalau aku sudah siap ditinggal sama kamu? It's okay beib..."

"Terus kenapa kamu keliatan sedih banget? Dari tadi diem mulu. Aku ajak ngobrol juga malah pasang earphone"

"Sorry... Aku lagi males ngobrol tadi" aku mengusap pipinya sambil tersenyum kecil. Lalu pergi menuju ruang TV.

"Kamu kenapa sih sebenarnya? Semua senyuman yang kamu berikan dari semalam kayaknya bukan sebuah senyuman yang ikhlas. Seperti terpaksa" Boy berjalan mengikutiku.

Aku kembali berbalik mendengar perkataannya barusan. "Terpaksa? Terpaksa apaan sih?"

"Sayang... I know who you are. Pasti lagi ada yang kamu pikirkan. Oke gak apa-apa kalau kamu gak mau cerita tapi aku mohon jangan bikin aku berat ninggalin kamu" Boy meletakkan kedua tangannya di pipiku.

LUST for LOVE (2)Where stories live. Discover now