Antara Mimpi dan Kenyataan

Mulai dari awal
                                    

Apakah dia ... takut?

Seseorang meneriaki Putri Ester dan menahan tangan gadis itu agar tidak berlari. Dia menggantikan tugas yang seharusnya dilakukan Satsu. Satsu tentu ingat pemuda berambut pirang yang selalu menemani, selalu disebut-sebut oleh Putri Ester itu.

Leonore. Pemuda itu bertengkar mulut dengan sang putri.

Kenyataan mulai menampar Putri Ester. Matanya kembali membulat menunjukkan keterkejutan. Alisnya mengernyit, bibirnya mengatup dalam getar. Satu per satu kata-kata penolakan keluar dari mulutnya. Dari pelan, suaranya mengeras dan bercampur getar.

Putri Ester menangis.

Ah, itulah yang sebenarnya Satsu ingin hindari. Itulah kenapa waktu itu Satsu tak ingin menceritakan penglihatannya mengenai Raja Herberth.

Satsu tak ingin ingat bagaimana dialah yang menjadi salah satu penyebab meninggalnya Raja Herberth dan menderitanya Putri Ester.

"Jika dia bukan Ayahanda, kenapa memakai wujud seperti itu?!" Tanpa menunggu jawaban siapa pun, Putri Ester menunjuk Raja Herberth. Air mata masih menetes dari matanya yang menyorotkan api amarah. "Sebut siapa dirimu!"

Raja Herberth melangkah turun dalam senyum, kontras dengan kekacauan yang masih tersisa di halaman. Dia melipat tangan ke belakang punggung. "Ya, ya, Putri Ester Exolia dari Kerajaan Exolia." Dia mengernyit sambil mengangguk-angguk. "Aku sempat melihat aksi Tuan Putri yang ..."—dia mencibir—"aku akan lebih menyebutnya luar biasa daripada bodoh. Kalau bukan karena dirimu, aku tidak akan berada di sini."

Selesai menuruni tangga, pria itu membungkuk dengan tangan kanan menyentuh perut. "Perkenalkan, namaku Herberth."

Putri Ester terkesiap, kemudian amukannya makin menjadi-jadi.

Raja Herberth terbahak-bahak menanggapi. "Marah melihat ayahnya sendiri. Terakhir kalian bertemu memang kalian bertengkar sih, ya. Klise sekali. Kau tidak punya waktu untuk menunjukkan penyesalanmu kepadanya."

"Keluar sekarang juga atau—"

"Kau mau membunuh lagi ayahmu?" tanya Raja Herberth, dengan seringai yang sama sekali tak menggambarkan sang raja.

Putri Ester terkesiap. Dia hampir saja terjatuh lemas kalau tidak segera ditopang oleh Leonore.

Satsu mengeritkan gigi kencang-kencang. Jari-jarinya meraup debu ketika dia mengepal. Setelah mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan dengan dibantu luap kemarahan, dia menendang permukaan dan memelesat.

Otot-otot pahanya sudah menyuruh untuk berhenti, tapi tidak. Satsu menolak untuk diam. Pemuda itu harus segera mengembalikan kenyataan ke tempat yang seharusnya.

Namun, dengan pikiran tak jernih, penilaian Satsu terhadap sekeliling pun berkurang.

Sekumpulan bilah hitam menusuknya dari bawah, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi.

Keheningan menyentak Satsu. Bukan rasa sakit yang memenuhi pikirannya, melainkan kebingungan. Matanya tiba-tiba menemukan permukaan tanah terlalu jauh. Kakinya tidak mampu memijak. Kedua tangannya tak bisa bergerak.

"Aku paling tidak suka orang yang tak bisa melihat situasi," kata Raja Herberth tanpa tersenyum sedikit pun. "Tidurlah."

Bilah-bilah itu tertarik sekaligus ke dalam tanah, ikut menarik Satsu dan menghantamkannya ke bebatuan. Debum keras menyentak kesadaran semua orang pada kejadian itu.

Satsu masih berusaha menggerakkan bagian-bagian tubuhnya, tapi tak ada respon. Otaknya menyuruh tidur. Setelah mendengar beberapa teriakan yang sulit untuk dikenali, pemuda itu akhirnya menyerah pada rasa kantuk dan lelah.

******

Satsu terbangun dalam kubangan air merah. Dia buru-buru bangkit dan melihat sekeliling. Banyak tubuh tergenang di kubangan itu.

Satsu menelan ludah.

Dalam ragu, dia berjalan perlahan menghindari para mayat. Kecipak air mengiringi tiap langkah. Satsu sempat menengadah. Tidak ada langit-langit di tempat itu. Bagian atas gelap, tapi jalan yang dia lalui masih terlihat meski remang-remang. Entah dari mana cahaya berasal.

Bau? Tidak ada aroma apa pun, padahal Satsu yakin bahwa yang dipijaknya adalah genangan darah.

Satu langkah. Dua langkah. Lima langkah. Sepuluh langkah.

Semakin berjalan, langkahnya semakin berat. Apakah air memasuki bot yang dia pakai? Namun, air itu cuma mencapai tumit, tidak setinggi betis seperti sepatunya.

Satsu mengusap peluh yang mulai mengalir di dahi. Kemudian, dia menoleh, bermaksud memastikan alasan kenapa langkahnya makin berat saja.

"Jangan terlalu pelan, Satsu! Kita harus kembali ke Exolia!"

Satsu membelalakkan mata ketika menemukan Putri Ester sudah berada di punggungnya. Sejak kapan dia menggendong sang putri?

"Kita juga harus pulang, Kakak."

Yang ini juga mengejutkannya. Ketika mengembalikan pandangan ke depan, Chie sudah berada di kedua tangan, digendong bak putri raja.

"Pantas saja berat!" keluh Satsu. "Bisakah kalian turun?"

"Aku sedang capek," jawab Chie.

"Kau ini pelayanku. Jangan banyak mengeluh," balas Putri Ester.

Belum selesai masalah dengan mereka, Putri Hilderose memanggil sambil melambai-lambaikan tangan di depan. Tuan Meyr, ayahnya, serta dua pemuda berambut pirang menunggu bersama sang putri.

"Hei, hei, hei, kau mau kabur begitu saja? Game belum selesai selama raja terakhir belum kalah, 'kan?"

Satsu menoleh pada suara yang tidak terlalu asing itu.

Raja Herberth berdiri di belakangnya. Seringai itu tidak sesuai dengan ingatan Satsu tentang sang raja yang berwibawa.

Satsu melemparkan Chie ketika Raja Herberth mulai memelesat maju. Jatuhnya gadis itu ke kubangan air menimbulkan cipratan. Chie sempat berteriak memarahi, tapi hanya jeda beberapa detik, belati sudah tertancap di perut si pemuda.

Waktu seolah berhenti.

Ekspresi Raja Herberth tercetak jelas di mata Satsu. Bibirnya yang melengkung menambah kerut-kerut di wajah tua pria itu. Pupilnya tampak mengecil di tengah matanya yang membulat.

Itulah hal terakhir yang dilihat Satsu sebelum dia berkedip dan membuka mata di tempat lain.

Onogoro (Trace of A Shadow #2) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang