Bagian 2

752 13 0
                                    

#Meraih_Mimpi

#Part2

Sayup-sayup terdengar suara tarhim dari menasah, sangat syahdu. Meski masih sangat berat untuk membuka mata, aku memaksa untuk bangun. Khawatir bapak akan marah-marah lagi jika telat bangun. Segera keluar dari kamar, melangkah menuju sumur di belakang rumah. Langit masih tampak gelap dan suasana juga sangat dingin. Sedikit takut, aku menarik air dengan timba, terdengar suara berderit karena katrol yang sudah tua dan kurang pelumas. Setelah merasa airnya sudah cukup, aku segera berwudhu. Setelah itu bergegas masuk ke dalam rumah.

“Sudah selesai wudhu, Nduk?” tanya Emak.

“Sudah, Mak. Bapak mana?”

“Bapak sudah berangkat ke musala, Nduk.”

Aku hanya menganggukkan kepala lalu masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Segera memakai mukenah, kemudian berlari menuju musala.

“Mak, Kira berangkat ke musala dulu!” teriakku tanpa menoleh ke arah emak.

Tergesa-gesa aku berlari menuju musala yang terletak di ujung desa, lumayan jauh dari rumah. Takut ketinggalan sholat berjamaah. Aku bernapas lega, karena bisa sampai tepat waktu. Lalu masuk ke dalam musala mencari shaf untuk sholat. Tak lama kemudian terdengar suara iqomah. Semua jamaah pun berdiri dan melaksanakan sholat. Suasana yang sangat khusuk. Sholat pun usai.

Aku berdiri dan ketika hendak melangkah ada seseorang yang menarik tanganku.

“Duduk dulu, Ra.”

“Riri! Bikin kaget aja,” ucapku.

Riri tampak tersenyum, mengisyaratkan untuk duduk di sebelahnya. Aku pun menurut tanpa banyak tanya. Menunggu para jamaah lain pulang. Setelah sepi barulah aku bertanya.

“Ada apa, Ri?” tanyaku.

“Eemm … kamu kenapa ndak masuk sekolah selama berhari-hari, Ra? Semua guru menanyakanmu.” Sorot mata Riri menunjukkan kesedihan.

Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng lemah.

“Cerita sama aku, Ra. Siapa tahu aku bisa bantu, kita kan sahabat,” ucap Riri sambil tersenyum.

Aku melongok ke tempat jamaah pria, khawatir bapak masih belum pulang. Setelah yakin keadaan aman, barulah membuka suara.

“Bapak melarangku masuk sekolah, Ri ….”

“Loh kenapa?” tanya Riri heran.

Aku mengangkat kedua bahu.

“Coba tanya baik-baik sama bapak, Ra. Sayang lo, UNAS kurang tiga bulan lagi. Apalagi kamu murid pintar. Semua menanyakanmu.” Riri menatapku lekat, tatapannya menunjukkan kepedulian pada seorang sahabat.

“Percuma, Ri … setiap ditanya kenapa ndak mengizinkan sekolah, pasti bapak selalu marah. Memang dari dulu kan ndak pernah setuju kalau aku sekolah. Bisa sampai kelas tiga ini aja karena aku nekad ….”

Aku menyeka sudut mata yang mulai terasa ada bulir bening mengalir pelan.

“Kamu yang sabar ya, Ra. Aku coba bantu bilang sama bapak dan ibu guru. Siapa tahu mereka bisa bantu menjelaskan pada bapak.” Riri memegang kedua bahuku.

Aku mengangguk, lalu tersenyum. Riri memang sahabat yang selalu ada di saat sedih maupun senang. Riri memberi semangat, menyarankan untuk sambil belajar di rumah meskipun tak pergi ke sekolah. Dia berjanji setiap sore akan ke rumah, meminjamkan buku dan mengajarkan pelajaran yang telah dibahas di sekolah pada pagi harinya. Aku sangat bahagia. Beruntung memiliki sahabat seperti Riri.

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang