“Makanya nurut sama, Bapak!” Bapak terus menarikku dengan paksa.

“Pak, jangan siksa Kira. Kasihan, dia anak kita satu-satunya.” Emak mencoba menghalangi Bapak untuk memukulku.

“Halah, minggir kamu! Ini kalau terlalu dimanja, jadinya ndak nurut sama orang tua!” Lagi-lagi bapak memukulku.

Semakin pecah tangisku. Meronta-ronta supaya diizinkan ke sekolah. Bagaimana dengan ulangan Bahasa Inggris nanti? Mata pelajaran yang paling aku sukai. Hari ini telah berjanji untuk mendapatkan nilai sempurna. Pupus sudah harapan dan masa depanku.

Aku terus menangis dan memohon, namun Bapak tetap pada keputusannya. Bapak mendorong masuk ke dalam kamar. Menyuruh berganti baju. Akhirnya aku pun mengambil salah satu baju yang biasanya dipakai untuk ke sawah, di dalam kardus.

Dengan langkah gontai keluar dari kamar.

“Bapak mana, Mak?” tanyaku dengan suara serak.

“Sudah berangkat. Wes Lah, Nduk, ndak usah sedih … turuti mau bapak.” Emak mengelus kepalaku dengan lembut.

“Tapi, Mak. Kira pengen sekolah yang tinggi. Mau jadi guru, ingin membantu mencerdaskan anak-anak di desa ini,” sahutku dengan terisak.

“Emak paham, Nduk. Tapi bapakmu sangat keras. Emak ndak mau kamu kena pukul lagi,” ucap Emak sambil menyeka sudut matanya.

Aku menatap Emak. “Jangan nangis, Mak. Maafin Kira ….”

“Sekarang lebih baik kita susul bapak ke sawah. Nanti takutnya marah-marah lagi.”

Kami pun menyusul bapak ke sawah. Melewati jalanan desa yang masih berupa tanah. Jalan menuju sawah hanya jalan setapak. Jalanan licin, karena semalam hujan. Harus berhati-hati untuk melewatinya. Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu. Seharusnya sekarang sudah berada di dalam ruang kelas, mengerjakan soal ulangan. Aku menarik napas panjang.

“Nduk, ndak usah sedih ya. Pasti ada jalan kok, nanti Emak bantu ngomong ke bapak. Siapa tahu bisa mengerti.”

Aku bergeming, hati dan pikiran melayang entah kemana. Tak bersemangat menjalani hidup. Semoga ada jalan untuk menggapai cita-cita dan keinginan. Aku yakin Allah akan mengabulkan doa hambanya. Semoga saja hati bapak luluh.

Tanpa terasa kami pun sudah  memasuki persawahan. Berjalan dengan pelan menyisir pinggiran jalan, aliran air di selokan kecil mengular menuju petak-petak sawah. Beningnya memancarkan kesegaran. Di sisi kanan dan kiri jalan tampak rerumputan yang hijau. Sejuknya pagi semakin menyentuh karena kabut yang masih menggantung menyisakan butiran-butiran embun di ujung daun. Pemandangan persawahan sejenak membuat lupa akan kegundahan dan kesedihan hati.

Para tetangga menatap dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka heran menyaksikanku pergi ke sawah, bukannya hari ini sekolah tidak libur. Aku menyapa mereka dengan anggukan kepala dan senyuman.

“Loh, Kira ndak pergi sekolah?” tanya salah satu tetangga yang sedang mencangkul di dekat sawah bapak.

Hendak menyahut tetapi sudah dijawab Bapak. “Halah anak gadis itu ndak perlu ke sekolah. Ndak ada gunanya.”

Aku menelan ludah, tersenyum kecut. Tampak para tetangga berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bisikkan. Aku memilih tak menghiraukannya. Biarlah, mereka mau berkata atau berpandangan buruk, terserah mereka.

Lalu terlihat beberapa petani wanita mulai masuk ke dalam tanah yang becek dan berlumpur. Mereka sangat menikmatinya. Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat menembus dinginnya embun. Sebenarnya aku merasa bangga pada para petani, mereka tak pernah mengeluh. Sepanjang setengah hari mereka bertahan di sawah, melakukan pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang