The Story of Our Sea.

961 182 174
                                    

Seperti biasa, aku mondar-mandir di lautan yang kian membosankan warna nan luasnya. Semakin sepi, kelam dan angker. Di sana-sini kulihat bangkai macam-macam. Mulai dari ikan kecil mengambang lalu perlahan turun, serpihan berat kapal oleng, tulang-tulang paus, hingga kuburan--tempurung kosong--kura-kura tua yang kukenal semenjak tahu apa itu laut.

Bau busuk yang dulu samar, sekarang menguat. Samudra ikut menjelma biru keruh. Berbagai kotoran bergerak bak planton raksasa yang tak enak dimakan. Kuat dugaanku bahwa penyebabnya berasal dari tepi pantai seberang sana, tempat manusia berlalu-lalang santai seperti ikan-ikan malas berkaki. Tempat di mana sampah-sampah lahir, belajar berenang, dan merecoki urusan para penghuni kerajaan air.

Di kanan dan kiri selalu ada saja yang mengikuti. Mereka--benda tipis layaknya ubur-ubur--ikut menari di antara sirip-siripku. Sangat menganggu. Suara dan kepakannya menampar-nampar kulit serta telinga. Membuatku tak ingin memiliki sirip lancip yang membuat mereka mudah tersangkut.

Kadang kala, ada sejenisnya yang panjang dan alot. Ia suka melilit leherku lama, hingga membuat luka mengangga. Membekas menjadi pola tato bertekstur alami, atau malah ikut tertanam di antara daging. Sampai sekarang pun, bahkan masih ada benda aneh transparan yang terselip di sela-sela gigi, merepotkanku mengunyah. Pernah juga masuk ke lubang hidungku yang kecil, atau malah merangkup seluruh kepala.

Oh, ingin kuberhenti berenang jika boleh, tapi Ayah bilang, itulah yang akan menjadi akhir dari riwayatku. Aku akan sama seperti saudara-saudariku yang tak kembali pulang setelah membuat segala alasan untuk bermain petak umpet. Menjadi sama seperti nasib Ibu yang terpancing tombak nelayan lokal. Mungkin juga bisa terbawa ombak sampai terdampar di daratan.

Namun, aku benar-benar jadi benci berenang. Aku kesepian. Dari sepuluh anggota keluarga, tinggal kami--aku dan ayah--yang tersisa. Gadisku mati terperangkap jaring yang diangkat ke atas perahu besar. Adik-adikku tak dapat bertahan lama setelah keluar dari rahim Ibu. Paman dan bibiku tersangkut gerombolan ringan benda-benda buangan, lalu hilang entah ke mana.

Burung-burung baik yang hinggap di mercusuar, terkadang bercerita bagaimana manusia memperlakukan kami di atas sana. Aku mendengarkan sambil merenung miris teriris. Sampai-sampai aku menangis berhari-hari terus begitu.

Kami bukan makanan, semua yang melekat pada kami bukan untuk konsumsi. Kami adalah raja. Sekelompok penguasa di salah satu puncak rantai makanan, dan sirip kami merupakan kebanggaan abadi kami. Bukan untuk unjuk keserakahan, bukan untuk pameran pajangan-pajangan. Bukan juga untuk simpanan para manusia yang kami kutuk sebagai salah satu alasan kemusnahan kami.

Ah, jika ingat luar biasa banyak hal rumit yang tersimpan di kepala, tiba-tiba aku merasa terlalu lelah berenang. Mungkin, nanti kurelakan saja benda sialan ini menyumbat mulutku, macet di kerongkonganku. Berhenti bernapas, kemudian mati terapung-apung dan menjadi punah.

Lagi pula siapa peduli dengan nasib kami?

Ah, tapi aku masih ingat, Ayah pasti akan sangat tersiksa tinggal di tempat lusuh begini. Bagaimana jika Ayah terus hidup seorang diri ditemani benda-benda menjengkelkan ini? Meskipun sekilas saja, terdengar sangat mengerikan.

Maka dari itu, kupikir ....
Tak apalah jikalau aku berjuang tuk bertahan hidup di sini sebentar lagi ....

Tamat.

500 words.

.

.

.

Selesai diketik Jum'at, 06.52 WIB, 12102018
Yogyakarta, Indonesia.

The Story of Our Sea #PlanetOrPlastic ☑️Where stories live. Discover now