Chapter 01

7.4K 476 17
                                    

Hidup itu suatu misteri. Kesemuan yang paling ulung di dunia ini. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok. Kau tidak bisa menebak dalam satu tembakan penuh, sebab kemungkinan terbesar dari tebakanmu adalah salah.

Ada rasa perih yang menjalar ke seluruh tubuh saat ia melihat selembar kertas usang dengan tulisan sedikit pudar yang menjadi fokusnya saat ini. Membawanya pada kenangan buruk yang pernah dilewati. Penyebab kehancuran absolut dalam hidupnya, menyisakan kebencian yang memupuk setiap waktu yang menggerogoti sisi baik dalam dirinya.

"Pembunuhan satu keluarga mengakhiri karir Han Group dalam bisnisnya."

Dalam satu gerakan ia menenggak selokinya sampai habis. Rasa pahit di tenggorokan menambah kepahitan dalam hidupnya yang pelik.

Pikirannya mengulang setiap kejadian yang membuat matanya kembali memanas, tak kuasa saat bayangan-bayangan itu kembali menyapa dirinya.

Musim panas tujuh tahun yang lalu, di saat semua orang menghabiskan akhir pekan liburan musim panas, keluarganya mengadakan pesta barbeque di teras belakang rumahnya. Kehangatan menyeruak dalam ingatannya, mengirimkan rasa sesak luar biasa dalam hati. Diingatnya lampu-lampu kecil yang terpasang di ranting-ranting pohon, berpejar dalam waktu yang berbeda-beda.

Suara tawa dari paman Lim yang menggelegar, bau asap dari panggangan daging yang dimasak oleh sang ibu, atau lagu lawas yang di putar oleh kakek menggunakan speaker wireless. Oh jangan lupakan jeritan si kecil Gunbi karena di jahili oleh ayahnya sendiri.

Sungguh hari yang paling membahagiakan. Setidaknya sebelum suara tembakan mengisi seluruh rungu yang hadir dalam pesta itu, mengacaukan segala sesuatunya saat beberapa orang berpakaian hitam dengan perawakan besar menghancurkan riasan sederhana teras rumah, menarik pelatuk ke sembarang orang yang ada di depannya.

Bau anyir menyerbak di temani dengan jeritan orang-orang yang berlari berusaha menyelamatkan diri, menyisakan seorang gadis yang bersembunyi dibalik pohonㅡdi ujung teras yang menyaksikan kepergian kedua orang tuanya sendiri. Seseorang berpakaian hitam dengan perawakan sempurna menginjak kaki ayahnya, berbicara kelewat santai dengan dua orang yang tergeletak di tanah, kesakitan memohon ampun.

Jihyun sempat akan keluar dari persembunyiannya ketika pria yang menginjak tangan ayahnya menodongkan pistol, bersiap menarik pelatuk agar tepat sasaran. Niatnya urung tat kala sang ayah berkata 'tidak' sembari meliriknya lewat ekor mata, sedang wajahnya menunduk agar tidak diketahui oleh pria di hadapannya.

Hatinya menjerit, ingin sekali menolong dua orang yang sangat berharga di depan sana. Tubuhnya bergetar saat ia mulai terisak dengan membekam mulutnya sendiri ketika peluru itu melesat mengenai kepala ayahnya. Pandangannya buram, terhalang air mata yang mengalir deras dengan tubuhnya yang merosot saat rungunya mendengar suara tembakan untuk kedua kalinya, hatinya hancur saat peluru itu melesat tepat di dada sang ibu.

"Jadi, bagaimana?"

Pertanyaan itu menyadarkannya dari kisah sedih tak berkesesudahan itu, tangannya mengisi seloki kemudian meminumnya hingga tandas. Obsidiannya mengamati pemuda berparas tampan di hadapannya, menggiring berbagai opini-opini yang kembali memenuhi otaknya tentang pria yang senantiasa menunggu jawaban berupa persetujuan itu.

"Hey, ini akan menguntungkanmu dan juga aku," lanjut sang pria dengan keyakinan pada raut wajahnya.

"Kau ini menyedihkan, ya."

Alih-alih menjawab, si wanita malah memberikan kalimat sindiran yang tidak di mengerti oleh sang lawan. Terlihat jelas bagaimana kerungan pada alis pria di hadapannya itu, membuat ia kembali berujar memberi penjelas di kalimat selanjutnya.

"Kau memiliki segalanya, tuan. Kau bisa melakukan apa saja dengan kekayaanmu."

Agaknya sang lawan mengerti kemana arah pembicaraannya. Ternyata wanita di depannya ini sedikit sulit di bujuk, juga sepertinya tipe wanita yang keras kepala. Maka dari itu, ditegakkan badannya pada sandaran kursi sederhana yang warnanya sudah pudar dimakan waktu. Kaki kirinya menopang kaki sebelah kanan, sedang kedua tangannya bertautan mendarat diatas lutut.

"Kau tahu, nona. Tidak mungkin aku sampai repot-repot datang kemari hanya untuk bertemu denganmu, jika aku bisa melakukannya sendiri,"

Dari kalimat tersebut terpancar suatu penjelasan, bahwa lawannya bukan sembarang orang. Terselip keraguan di benak Jihyun, sebab kedepannya semua tidak mungkin berjalan normal.

Helaan napas kembali keluar dari sang pria, menandakan kejengahan yang terlalu, dalam dirinya. Menanti jawaban dari harapan yang kau idam-idamkan itu sungguh menyiksa bukan main. Setiap detiknya menentukan jawaban dari pikiran orang di depannya. Kesabarannya habis, waktunya terbuang sia-sia. Belum wanita itu menjawab, ia beranjak dari duduknya. Merogoh saku, meletakkan selembar kartu di meja kecil dari apartemen si wanita.

"Aku tahu, kau masih mengingat kejadian itu sampai sekarang. Hubungi aku jika kau sudah memikirkan jawabannya." Lantas ia pergi, menyisakan keheningan dengan feromon memabukkan yang berbaur dengan udara disana, dengan si wanita yang terpaku pada kartu yang diberikannya tadi. Tertulis sebuah nama,

"Min Yoongi"

10 Oktober 2018

SINNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang