Mengusir Rindu

6 1 0
                                    


Di sinilah aku. Masih di tempat pertama kita berkumpul, berhimpun menjadi sebuah kelompok kecil yang berprinsip "Selo be dak". Bagi kalian yang tidak paham, prinsip itu berarti : Tenang. Semua ada waktunya. Tidak perlu buru-buru. Apa yang kau kejar? Pada akhirnya kita akan finish di tempat yang sama. Garis akhir tak akan berpindah. Akan selalu setia menunggu, menyambut hangat dengan syarat tetap bertahan di lintasan.

Ketidakberdayaanku menyimpan hal yang biasa disapa sebagai rindu pun, berakhir pada sebuah tulisan yang bahkan aku tak tau akan dibawa ke mana. Tidak. Kalian salah besar jika berfikir bahwa sekumpulan orang yang sedang kumaksud ini dapat menerima ekspresi rindu selayaknya orang normal. Mereka akan jijik mendengar kata "aku rindu", terlebih kalau itu dari diriku. Dapat kubayangkan ekspresi yang akan dibuat oleh mereka, seolah-olah aku baru saja terjatuh di kubangan lumpur.

Semua tak akan sama. Salahkan saja waktu yang berkuasa memisahkan kebersamaan. Itupun jika kalian masih berani berhadapan dengan masa-masa sulit seperti mendapat nilai D sekelas karena tidak masuk tepat waktu. Atau ketika banjir keringat ketika waktu deadline untuk pengumpulan tugas akhir tinggal hitungan hari.

Kini, takkan ada lagi raut muka panik saat sedang menelfon seseorang yang hobinya tidur ketika azan subuh, dan baru bangun ketika jam pelajaran pertama dimulai. Takkan ada lagi teriakan "NO! THAT IS A BAD WORD!" ketika salah seorang dari kami (atau mungkin kami semua) tak sengaja (atau mungkin sengaja) berkata kotor. Dan takkan ada lagi kata-kata puitis keluar dari mulut lelaki yang tengah diancam akan diturunkan di tengah jalan pulang menuju kosannya.

Kisah kita, bukanlah kisah dambaan semua orang. Siapa yang mau hidup setiap sore mendengar celotehan teman yang selalu jengkel dengan perilaku partner kerja prakteknya yang berlagak sok keren di depan anak SMA? Siapa yang mau hidup memaki salah satu teman yang tiba-tiba menghilang ketika tengah berjalan menuju kantin? Hanya orang tak waras yang ingin hidup di lingkungan seperti itu. Dan mungkin aku satu orang yang termasuk golongan tersebut.

Tapi bukankah hidup memang merupakan perjalanan? Begitupun dengan kita yang secara tak sadar berubah? Dibuktikan dengan acara syukuran rutin kita setiap akhir semester. Dimulai dari ayam bakar yang seperti karet, sampai kepada ayam yang sangat lembut, tak kalah dari rumah makan padang yang penyajinya menatap sinis ketika salah satu dari kita bertanya: "apakah ada kecap di sini ?". Ya walaupun ada beberapa potong ayam yang jatuh ke tanah hingga berbalur pasir sih.

Malam ini, ternyata aku menyadari satu kesalahan. Bahwa waktu bukan pelaku yang harus disalahkan. Waktu tak punya kendali apa-apa. Waktu hanya menjalankan tugasnya. Naif memang, menuduh waktu sebagai biang kerok atas ketidakbersamaan kita lagi. Pada akhirnya, setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Bahwa hanya duduk diam dan meratapi kepergian merupakan kepecundangan yang tak termaafkan. Bahkan dunia yang sekarang kita tatap lekat, hanyalah tempat mengisi bekal menuju akhirat.

Tunggu aku. Di gunung dengan hamparan langit biru. Di padang rumput dengan angin syahdu. Takkan ku hiraukan hal itu. Sebab kehadiranmu, tertawa bersamamu, menghabiskan waktu denganmu, adalah definisi dari candu.

Mengusir RinduWhere stories live. Discover now