6. First Day

Mulai dari awal
                                    

"Hidup dong, jangan mati please. Hidup gue ada di lo, handphone," racau perempuan itu, masih sambil mengusap-usap handphone-nya dalam posisi duduk berjongok. Aku terus diam, berulang kali mengalihkan perhatian.

"Gue udah ditinggal banyak hal di satu waktu saat ini, masa lo mau ninggalin gue juga?" Ya sepertinya perempuan itu sudah hampir gila hanya karena benda petak hasil kelahiran teknologi itu. Bahkan yang lebih membuatku tidak habis pikir, mata perempuan itu basah dan siap untuk menangis.

Aku gagal dan akhirnya aku berbicara kepadanya, "Sudah  jangan seperti ini. Nanti kita perbaiki."

Dia menoleh kepadaku, bibirnya mengerucut sama anak kecil yang kehilangan permen. Bersamaan dengan ekspresinya itu, aku mengalihkan pandangan. Merasakan sesuatu yang hangat dan ngilu teralir di dalam hatiku, sesuatu yang tidak mampu aku jabarkan.

-Mantan Manten-

Malam harinya, aku sedang membersihkan peralatan yang aku gunakan untuk merias pengantin. Nina datang menghampiri dengan wajahnya yang terlihat tidak dalam kondisi bahagia, kutebak ini pasti masih ada sangkut pautnya dengan benda petak tadi.

"Sudah hidup?"

Dia mendesah, "Dipendam dalam beras nggak menjamin handphone itu hidup lagi."

Aku mengangkat bahu, ya aku yang memberi saran kepadanya untuk memendam handphone itu ke dalam tumpukan beras. Itu yang aku ketahui sejak dulu, cara untuk mengeringkan sesuatu yang kecebur dalam air.

Percakapan kami berhenti, aku terus membersihkan peralatan. Saat dia bertanya untuk kembali membuka obrolan, "Sudah lama bude merias pengantin?"

Tumben sekali dia bertanya seperti ini, pasti karena dia tidak ada handphone yang biasanya ia gunakan untuk membunuh waktu. Setidaknya ini lebih baik, ketidakberadaan handphone itu membuat jiwa sosialnya sedikit meningkat. "Sudah lama."

"Kira-kira sejak kapan?" Sejak awal bertemu dengannya, aku tahu bahwa Nina ini tipe perempuan yang jika ingin tahu sesuatu pasti tidak berhenti untuk bertanya.

"Sejak ibu saya meninggal," jawabku akhirnya.

Wajahnya tampak pias, mungkin terlihat kaget dengan jawabanku tadi. Ia memilih untuk mengucapkan kata maaf dan aku menanggapinya dengan mengangkat bahu, kejadian itu sudah lama, sudah barang tentu aku telah lupa.

"Pekerjaan ini turun temurun, bahkan nenek saya dulu juga melakukannya. Hampir perempuan yang berada di keluarga saya, bergelut dalam profesi ini," ungkapku. Tak tahu mengapa, aku menceritakan ini kepadanya, padahal sebenarnya aku paling malas menceritakan sesuatu yang bersikap pribadi.

Nina mengangguk paham dan menyahut segera, "Jadi sudah pasti dong, anak bude nanti akan meneruskan pekerjaan merias pengantin ini?"

Pertanyaannya membuatku tertohok, bahkan dengan jelas gerakan tanganku yang tadi mengusap salah satu kuas merias menjadi berhenti. Semua tertahan hanya karena pertanyaannya tadi. Selama beberapa menit, aku berusaha untuk kembali biasa dan menjawab pertanyaan itu dengan suara berat.

"Saya tidak punya anak," ujarku.

Matanya membulat kaget dan sekali lagi, ia mengucapkan kata maaf yang sama ia lakukan beberapa menit yang lalu. "Maaf saya benar-benar tidak tahu."

Aku mengembuskan napas dalam dan memilih untuk mengalihkan topik, aku tidak mau berlarut-larut dalam topik ini. Lagipula, anak itu titipan sang Kuasa, kalau ia tidak berkehendak menitipkan seseorang kepadaku. Aku bisa apa? Selain menerima dengan ikhlas.

"Kamu tinggal di sini, apa tidak ada yang mencari?" kini gantian, aku yang bertanya. Ya, dia akan tinggal denganku cukup lama. Sudah barang tentu, aku harus menanyakan ini.

Kini gantian, dia yang terdiam, mukanya menjadi sendu karena pertanyaan ku itu. "Saya yatim piatu."

Dan benar, ibarat sedang membongkar kehidupan masing-masing. Aku yang sekarang merasa tidak dengannya.

Tapi sekian detik kemudian, Nina malah berusaha menutupi semuanya dengan senyum tipis. "Itu sudah lama juga, Bude. Jadi nggak apa-apa.  Saya punya ayah tiri yang mengangkat saya dari kecil, dia yang membesarkan saya. Hanya saja sekarang hubungan saya dengannya lagi tidak baik."

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi terus terang, aku menyimak ceritanya dengan baik.

"Pak Iskandar, dia pengusaha kaya raya. Saya memilikinya sebagai ayah tiri. Hubungan kami baik-baik saja, bahkan saya juga akhirnya memiliki pacar bernama Surya, yang sebenarnya adalah anak kandung Iskandar," cerita Nina. Dari caranya berbicara, dia terlihat terbuka kepada masalahnya. Entah karena apa, dia begitu mudah membagi lukanya kepadaku.

"Perusahaan ayah saya mengalami kendala, saya dipecat dan yah... itu alasan saya ke sini, karena saya tidak memiliki apa-apa lagi." Kini dari ceritanya, aku dapat mengetahui maksud tujuan dia ingin menjual vila ini.

Nina terus bercerita, kali ini, ia menuturkan mengenai hubungannya dengan Surya. Selama bercerita, Nina hanya sesekali tertawa dan tersenyum, tak ada tanda-tanda bahwa perempuan itu sedih. Walaupun jauh di dalam hatinya, aku tahu, dia sedang hancur.

"Hubungan saya dan Surya berakhir begitu saja."

Dari caranya menceritakn Surya, aku dapat memahami bahwa dia memiliki perasaan mendalam dan sungguh-sungguh kepada lelaki itu. Nina mengingat dengan jelas semua letak hal antara dirinya dan Surya jadi dengan jelas, aku tarik kesimpulan. Perempuan itu menyukai Surya.

"Saya sekarang tidak punya apa-apa lagi Bude. Saya ke sini juga karena pertolongan sahabat saya, Ardy. Dia yang berbaik hati meminjamkan uang untuk saya ke sini," tuturnya terus terang.

Selama cerita itu, aku mendengarkannya dengan baik, tanpa menyela meskipun aku masih terus membersihkan kuas make up. Ya, dia banyak bercerita mengenai dirinya malam ini. Sebuah cerita yang perlahahan mengikis jarak di antara hubungan kami selangkah demi selangkah. Perlahan namun pasti, aku mengenalnya. Yasnina—perempuan millineal yang tegar, ia memang budak kemajuan teknologi tapi dari hati, aku bisa menyatakan bahwa dia perempuan yang baik.

Bersambung

Lanjut bab 7?
Btw ini pakek pov sesuai sama nama pemain di atas ya. Gimana gimana?

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang