3. End Game

33.3K 3.8K 504
                                    

A R D Y

Hidup ini selalu berputar seperti halnya sebuah roda. Kadang berputar ke atas dan kadang berputar ke bawah. Ya, setiap manusia yang hidup pasti akan mengalami perputaran roda kehidupan, baik gue, teman-teman gue, dan pastinya juga Nina.

Jika biasanya Nina selalu tampil rapi, kali ini Nina yang berada di hadapan gue seperti bukan Nina yang biasa gue kenal. Dia terlihat sama sekali tidak dalam kondisi baik, wajah pucat, dan sejenak gue dapat melihat kantung matanya sedikit membesar dan hitam, tanda bahwa beberapa hari ini dia selalu insomnia dan menangis.

"Nin," tegur gue. Jujur, Nina yang seperti ini bukan Nina yang biasa gue kenal. Ya, gue tahu masalah dia akhir-akhir ini membuat dia seperti ini. Tapi, c'mon! Gue kenal dia sudah lama dan jelas, gue nggak suka dia yang seperti ini.

Gue mendorong segelas minuman dingin yang tadi gue buatkan untuknya. Dia hanya menganggukan kepala sebagai tanda mengerti bahwa gue menyuruhnya untuk minum, sekadar untuk membuatnya lebih rileks.

Gue ingin berbicara, bicara yang bisa membuat dia sedikit lebih tenang. Tapi rasanya itu percuma karena Nina terlihat tidak mau menanggapi gue sedikitpun. Dia datang, dia duduk, dan dia tidak bicara apapun. Dia selayaknya patung di hadapan gue.

Iya, gue mengerti masalah Nina akhir-akhir ini bisa dikategorikan berat. Bukan berat lagi, sepertinya masalah dia masuk ke dalam kategori berat. Tapi masalah yang dia hadapi, nggak lantas membuat dia terpuruk seperti ini, kan?

"Nin, lo baik-baik aja, kan?" jujur ini pertanyaan bego yang gue tanyakan ke dia. Seharusnya gue juga sudah tahu bahwa dia tidak dalam kondisi baik, tapi entah kenapa gue bingung mau bertanya apa selain pertanyaan itu.

Untuk yang kedua kali, Nina menganggukan kepalanya dan gue mendesah berat karena itu. Meskipun gue tahu semua yang dia hadapi saat ini bagaimana, tetap aja gue pengin dia bicara dengan kemauan dia. Gue  nggak mau memaksa dia.

Di saat semua orang yang mungkin berada di posisinya akan menangis atau sampai frustrasi, gue tahu Nina masih bersikap sangat tenang dengan cuma menyimpan semua emosinya itu di dalam kebisuan. Nina bukan tipekal perempuan selemah itu, yang menumpahkan kesedihan lewat tangisan dan kemarahan lewat makian, tidak... gue mengenal Nina.

"Dy," panggil Nina setelah kebisuan itu terjadi di antara kami selama belasan menit.

Gue mengangkat kepala dan melihatnya yang kini sudah menatap gue.

"Gue minta maaf ya, Dy, sudah ngerepotin lo. Gue minta maaf juga sudah nyusahin lo karena numpang tinggal di tempat lo," ujarnya pelan.

"Nin, lo kayak sama siapa aja. Santai, lo bisa tinggal di tempat gue kapanpun yang lo mau. Jangan sungkan, Nin," balas gue.

Salah satu dampak dari masalah Nina adalah ini. Ya, dia kehilangan tempat tinggal dan kehilangan segala yang dia punya. Terlalu jauh ya gue menjelaskan? Ya, gue mulai dari awalan masalah dia.

Perusahaan ayah angkatnya sedang mengalami masalah dugaan penyuapan, masalah itu berujung kepada semua aset Nina yang disita oleh penyidik. Nina sudah meminta pertanggung jawaban Iskandar, ayah tirinya, yang waktu itu berjanji akan membuatnya aman. Tapi, semua janji itu kini tinggal cerita.

Nina harus rela hidupnya jungkir balik. Dia tidak memiliki apa-apa lagi yang tersisa.

Dan yang lebih menyakitkan adalah Surya, pacar Nina yang besikap seolah tidak peduli dengan masalah yang dihadapi Nina. Untuk yang satu ini, gue juga melihat dengan mata kepala gue sendiri gimana Nina diperlakukan oleh Surya. Jujur, seandainya Nina tidak mencegah, gue ingin sekali membenturkan kepalan tangan gue ke muka Surya yang melengos saat Nina mencoba berbicara kepadanya.

Gue jelas nggak habis pikir, dimana otak Surya saat itu. Dimana ia tanggalkan semua kenangannya bersama Nina selama ini. Semua ingatannya dan Nina seolah hilang tak bersisa.

"Dy, gue boleh pinjam duit?" tanya Nina tiba-tiba. Gue melihat sorot matanya terlihat berbinar dan tebakan gue, sepertinya dia menemukan sebuah ide cemerlang.

"Boleh, Nin. Berapa?" balas gue. Gue kerja sama dia, duit yang gue punya juga dari dia. Gue nggak akan pernah nolak apapun yang dia minta, dia sudah terlalu sangat baik dan berjasa di hidup gue ini.

Nina menatap gue dengan sorot mata meyakinkan, "Secepatnya akan gue balikkin, Dy. Gue butuh duit ini untuk bawa masalah gue ke jalur hukum. Iskandar nggak bisa gini aja memperlakukan gue. Gue hanya perlu sedikit duit, Dy."

"Berapa?"

"Tiga puluh juta." Gue mengangga, kaget luar biasa dengan nominal yang baru saja dia sebutkan. Ya, gue paham duit segitu pasti nominal yang sedikit baginya tapi bagi gue?

Gue meneguk air ludah kasar, lantas memasang tampang bersalah, "Nin, gue emang mau banget bantu apa aja untuk lo. Tapi kalau duit segitu..." Gue menahan kalimat dan menatapnya dengan sorot kecewa. "Gue nggak punya, Nin."

Nina mendadak tersadar dan seolah menyesali kebodohannya yang baru saja meminjam duit sebesar itu kepada gue. Dia dengan cepat meminta maaf dan merasa tidak enakkan kepada gue.

Gue tidak tersinggung sama sekali. Gue mengerti, masalahnya yang bertubi-tubi membuatnya pasti ingin cepat keluar dari masalah tersebut dan jalan pintas dari masalah yang dia hadapi letaknya ada pada "uang."

"Nin," gue teringat satu hal yang sepertinya bisa menjadi suatu pemecah dalam masalah gue. Gue dengan cepat menuturkan sesuatu yang baru gue ingat tadi siang, saat gue sedang merapikan dokumen Nina sebelum ia benar-benar keluar dari pekerjaannya. "Mungkin jalan keluar dari masalah ini adalah Vila lo yang di Tawamanggu. Itu satu-satunya aset lo yang belum disita karena belum balik nama."

Dia mengalihkan perhatiannya ke gue, ia pelan-pelan mengingat apa yang baru saja gue katakan. Lalu, ia bicara lagi setelahnya. "Dy, permintaan gue mengenai pinjam duit tadi masih berlakukan?" ujarnya dengan nada berharap.

Gue langsung mengangguk, "Iya, Nin. Tapi gue nggak punya banyak."

Nina ikut menganggukan kepala, raut wajahnya tergambar sangat ekspresif. "Gue butuh pinjaman untuk bisa pergi ke Tawangmangu. Gue harus segera mengurus aset ini."

Ya, setelah percakapan malam itu. Nina pergi meninggalkan Jakarta dengan masih menopang beban masalah yang dia miliki. Dia pergi dengan segudang harapan bahwa masalahnya akan cepat selesai, pengkhianatan ayah angkat dan pacaranya, semuanya kini berada di beban punggung Nina untuk minta diselesaikan.

Dan dari tempat gue sekarang berada, gue hanya dapat berdoa. Semua masalah Nina akan cepat selesai.

Bersambung

LANJUT BAB SELANJUTNYA?

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang