6. First Day

9.8K 1.1K 49
                                    

M A R J A N T I

Pukul 04:30, langit masih gelap, bahkan ayam pun belum terbangun ketika aku sudah berada di depan teras sambil berulang kali menatap ke arah pintu depan.

"Dasar anak milenial, tidak bisa menghargai waktu!" rutukku di saat yang bersamaan Nina, perempuan yang akan menjadi asistenku merias, sedang berlarian keluar rumah dengan celana pendek yang jelas menunjukkan tungkai kakinya. Aku hanya memperhatikannya lekat, tidak berkomentar apa-apa.

Seolah mengerti apa yang sedang aku perhatikan, Nina berdecak pelan dan bergegas untuk kembali masuk ke dalam rumah untuk melakukan sesuatu yang kutebak, pasti mengganti celana. Selagi anak muda itu melakukan kegiatannya, aku memilih untuk segera naik becak, meninggalkan dia yang pasti akan segera menyusulku.

Lima menit kemudian, dia sudah kembali. Wajahnya terlihat ditekuk, dapat kutebak bahwa dia tidak suka dengan hal-hal seperti ini. Aku bersikap tidak peduli dan memilih untuk mengatakan tujuanku kepada tukang becak.

Pasar. Di daerah kecil ini, berbelanja jam segitu sudah menjadi kebiasaan. Bahan-bahan masak jauh lebih segar pada saat itu. Sehingga memang pasar yang akan kami tuju sering disebut pasar subuh.

Sepanjang perjalanan, aku berulang kali melirik Nina yang terlihat mengantuk. Bahkan kepalanya berulang kali terentuk di penyanggah besi becak. Lantas terbangun sebentar, mengerjap beberapa detik, sebelum kejadian itu terulang lagi. Aku tahu perempuan ini pasti tipekal yang baru akan bangun pukul enam pagi lewat. Dasar anak muda!

  Aku turun duluan dari becak, masuk ke dalam pasar yang subuh itu sudah ramai dikunjungi pembeli dan pedangag juga terlihat sibuk menyiapkan dagangan mereka. Aku memulai langkahku untuk berkeliling pasar, tentunya dengan Nina yang terus mengikuti di belakang.

"Kita mau belanja apa aja sih, Bude?" tanyanya di sela langkahku.

"Melati, telur ayam kampung, daun pandan," aku menahan jawabanku. Ekspresinya saat mendengar celotehku yang menjadi alasannya. Ia mungkin terlihat takjub dengan apa saja yang ingin kubeli.

Ragu-ragu Nina membalas, "Bukan belanja kebutuhan masak?"

Aku mengangguk, "Itu juga termasuk. Tapi itu tugasmu," lantas segera saja aku memberinya beberapa lembar pecahan uang.

"Tapi—"

"Beli kebutuhan masak untuk hari ini, itu tugas pertamamu."

Aku memilih untuk melangkah duluan, meninggalkannya yang pasti saat ini sedang kebingungan. Aku tidak peduli, lagipula sampai kapan dia akan bertahan dengan ketidaktahuannya itu? Ya, aku bisa menebak dengan mudah bahwa Nina bukanlah perempuan yang mengerti urusan dapur, perempuan itu memang pintar tapi tidak dalam "urusan perempuan" Jadi aku akan melihat sebatas mana kemampuannya hari ini.

Apa dia bisa diandalkan? Aku harus menemukan jawaban itu.

-Mantan Manten-

Aku tidak berbicara apa-apa, tetapi dari caraku menatap semua belanjaan yang dia beli. Aku tahu bahwa ia sudah mengerti jika aku menanyakan maksudnya membeli bahan-bahan ini, tanpa perlu kuucapkan dengan kata-kata.

"Jadi begini, karena Bude tidak memberi tahu saya mengenai apa-apa saja yang harus saya beli. Saya jadi hampir membeli semua yang menurut saya bisa digunakan untuk memasak." Ya, dia ini perempuan millineal yang cukup licik, semua uang yang aku berikan habis dibelikannya bumbu dapur dan berbagai macam ikan. Bahan makanan yang malah cukup disimpan untuk satu minggu.

Dia menyengir tipis, "Hitung-hitung Bude nggak perlu ke pasar lagi subuh-subuh untuk beli bumbu dapur," sambarnya.

Aku hanya mendesah, lagi-lagi tanpa mengatakan apa-apa. Percuma saja jika aku memarahinya, aku malas untuk melakukan  itu. Jadi kubiarkan saja kelakuaannya pagi ini.

Mantan MantenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang