Selesai ke pasar, aku langsung membereskan belanjaan kami. Kali ini, dia ikut membantu juga. Meskipun apa yang dia bantu harus dari petunjukku dulu. Dia bukan tipekal orang yang langsung tahu apa saja yang harus dilakukan.

"Keluarkan bagian perut ikan itu."

"Cuci sayurnya sampai bersih."

"Potong ini—belah itu," Aku menyuruhnya macam-macam, walaupun aku tahu jika dia sebenarnya enggan melakukannya. Nyatanya, Nina cukup kuat untuk meladeni setiap perintahku dan hal itu cukup membuat penilaiannya di mataku naik. Setidaknya meskipun dia bukan tipekal inisiatif, dia mampu bekerja di bawah tekanan.

Setelah hampir semua pekerjaan dapur kami selesaikan dan tinggal menunggu masakan kami selesai saja. Aku menyuruhnya untuk duduk saja di depan.

Nina tersenyum hangat, mengangguk dan mengatakan terima kasih. Ya, ini peningkatan dari hari kemarin, saat mukanya terus saja tertekuk akibat kesepakatan kami. Setidaknya hari ini, dia lebih menerima.

Lima belas menit kemudian, aku melangkah ke ruang makan, sambil membawa masakan yang telah selesai dimasak sebagai sarapan kami berdua.

Hal pertama yang kulihat di ruang makan adalah sosok Nina yang tertidur pulas sambil mendengkur, bahkan mulutnya setengah terbuka. Aku hanya dapat menghela napas melihat itu, tapi tak urung, aku membiarkannya berisitrihat. Hari ini perjalanannya akan dimulai.

-Mantan Manten-

"Ini tempat apa?" pertanyaan yang langsung Nina tanyakan, ketika aku membawanya ke tempat yang telah aku katakan akan menjadi langkah awalnya.

"Lihat saja sendiri," balasku tidak memberikan jawaban yang berarti. Aku melangkah duluan darinya yang terlihat antusias untuk melihat dan berkeliling.

Saat Nina semakin melangkah, perempuan itu langsung takjub sendiri.

Ya, aku membawanya ke tujuh mata air. Sebagai salah satu syarat memaes, dia harus terlebih dahulu dimandikan kembang tujuh rupa di tempat itu. Tetapi tampaknya, fokus perempuan itu tidak berada di sana.

"Tempat ini disebut Pemandian Sapta Tirta. Dahulunya tenmpat ini digunakan sebagai tempat bertapa pangeran dan tempat pertahanan di masa kolonial Belanda," jelasku. "Di sini tujuh mata air memiliki rasa yang berbeda-beda. Ketujuh mata air di sini, ada air bleng, air urus-urus, air kesakten, air soda, air hangat, air hidup,   hanya ada satu sumber mata air yang tidak bisa dikonsumsi yaitu air mati."

Ketika selesai menjelaskan, aku menoleh kepadanya yang malah sedang menggerakan handphone-nya ke sana dan kemari. Aku berdecak kesal, inilah salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi. Anak-anak muda sering berperilaku tidak sopan kepada orang tua.

"Nina!" sentakku. Ia kaget karena panggilanku dan refleks menjatuhkan handphone-nya tepat ke salah satu sumber mata air yang berada di tempat di sana.

Bola matanya membulat lebar dan tanpa menunggu, perempuan itu berusaha untuk menyelamatkan handphone-nya. Saat kejadian itu berlangsung, aku tidak mengatakan apa-apa selain mengalihkan pandangan karena kutahu, dia sedang menatapku dengan pandangan nelangsa.

Aku berusaha untuk tidak peduli, bahkan sampai perempuan itu terlihat memeluk dan mengusap-usap handphone-nya dengan mata berkaca-kaca, aku tetap memfokuskan diri untuk melakukan hal lain. Lagipula kenapa pula dia tampaknya lebih sayang handphone itu ketimbang nyawanya sendiri.

Aku ingin melangkah lebih jauh, melakukan ritual untuknya. Tapi dia terlihat tidak beranjak kemana-mana, masih setia sekali perempuan itu mencoba untuk menghidupkan handphone-nya.

Mantan MantenWhere stories live. Discover now