Ibu Mia terdiam sesaat. Mempertimbangkan. Melihat ekspresi memohon putrinya, ibunya mulai melunak.

"Kali ini Mama maafin," ujarnya akhirnya. Lalu kembali menekankan. "Tapi kalau nanti kejadian kayak gini terulang lagi, Mama pasti minta pertanggungjawaban mereka. Paham?"

Mia mengangguk mengerti.

XXX

Heri menatap garang kedua putranya. Selama bertahun-tahun ia memimpin sebuah perusahaan dengan ratusan karyawan, ia tak pernah merasa sepusing ini. Mendapat telepon dari sekolah, bahwa kedua anaknya berkelahi di sekolah. Salah satunya harus dibawa ke rumah sakit karena luka di kepalanya perlu dijahit, dan yang satunya utuh tak tergores sedikit pun. Namun bertingkah bisu. Tak menjawab sepatah kata pun saat ditanyai guru di sekolah.

Betapa memalukannya kelakuan dua putranya tersebut.

Putra sulungnya duduk di sofa di seberangnya. Tak bersuara bahkan tak bergerak. Pandangannya lenyap di karpet lantai. Tampak kosong dan bosan. White sedang mematung seperti biasanya. Ia memang selalu seperti itu. Sementara putra bungsunya, biang keladi dan tukang bikin onar sedang merosot dan bergelung seperti kucing di sebelah ibunya. Kepalanya diperban dan matanya setengah terpejam. Beruntung hidungnya tidak patah, hanya membiru dan membengkak namun tetap terlihat menyeramkan.

Lita, istrinya nyaris sebeku White. Bibirnya terkatup rapat, hanya manik matanya tampak hidup, bergerak bergantian ke arah White dan Heri. Sesekali ke Grey. Tangannya meremas-remas gaun rumahnya. Menyadari, bahwa kemarahan suaminya akan segera pecah secepat gelembung sabun.

"Haruskah Ayah membuat ring tinju khusus untuk kalian berdua di sekolah?" Heri memulai. Pandangannya jatuh bergantian kepada kedua putranya.

Grey menatap ayahnya tapi tidak menjawab, sementara White tidak merespons apa pun. Ia tetap mematung seakan pikiran dan raganya tidak sedang bersatu dengan tubuhnya. Lita semakin cemas.

"Menurut kalian, berkelahi, pukul-pukulan dan saling unjuk kekuatan di area sekolah itu benar? Keren begitu? Bisa membuat Ayah bangga jika melihat salah satu dari kalian berdua menang tak tergores sedikit pun, sementara yang satu babak belur seperti anak idiot di hadapanku ini?" Heri mencecar kedua putranya seperti petasan rantai yang sedang dinyalakan.

Grey menegakkan diri, membuka mulut untuk membela diri. Ia tidak suka dikatakan idiot oleh ayahnya sendiri, apalagi di depan White, namun tangan ibunya menghentikannya.

Dalam hati ia geram. White menghajarnya habis-habisan. Luka di kepala dan hidungnya berdenyut menyakitkan. Dan semakin ia dikuasi emosi, semakin mual rasa sakitnya. Ia melirik ganas ke arah White. Patung gips sialan, umpatnya dalam hati.

"Kalian tahu betapa pusingnya ayah dan bundamu memikirkan kalian? Satu enggak pernah pulang ke rumah dan yang satu selalu saja membuat onar." Heri menunjuk anak sulungnya. "Dan kamu White, kamu lebih tua daripada adikmu, Ayah berharap banyak ke kamu tapi kamu malah mengecewakan Ayah. Mulai saat ini kamu harus kembali tinggal di sini!"

"Saya enggak ingin tinggal di sini," sahut White cepat. Ia bisa tahan mendengar omelan ayahnya selama berjam-jam. Tapi jika ayahnya kembali mengungkit kepulangannya, ia tak bisa tinggal diam. "Saya kira Ayah sudah tahu kalau saya enggak akan tinggal lagi di sini. Saya kerasan di tempat tinggal saya sekarang."

Heri menegakkan posisinya setelah mendengar jawaban anak pertamanya.

"Oh, sudah bisa membiayai hidup sendiri kalau begitu?"

"Ayah akan berhenti membiayai hidup saya? Enggak apa-apa. Mungkin sekarang waktunya saya benar-benar pergi. Lagipula tahun depan saya sudah tidak lagi di Indonesia. Anggap saja saya sedang belajar mandiri, dan Ayah jangan pernah lagi menyuruh orang-orang bodoh berotot itu untuk menyeret paksa saya pulang."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

White & GreyWhere stories live. Discover now