(Part of Kelana) SATU - AKU KELANA

Start from the beginning
                                    

Wajahnya teler dengan botol minuman yang dulu aku pikir hanya es teh manis karena warnanya yang tak jauh berbeda.

Dengan sisa tenaga Ibuku, diam-diam aku dibawa ke rumah Tanteku yang tak jauh dari rumahku. Ibuku hanya mengantarkan aku lalu kembali pulang, aku ditinggal dengan seseorang yang aku tak kenal. Ibuku menangis, mengusap rambutku. Ibuku berbisik, pelan dan bergetar.

"Maafkan Ibu, dimanapun kamu berada. Ibu akan ada disamping kamu"

Lalu Ibuku pergi. Aku meronta ingin ikut berlari, namun sepasang tangan menghalauku. Memaksaku untuk tenang .

Dan esoknya, pagi-pagi sekali beberapa polisi mendatangi rumah tanteku. Ada kabar yang disampaikan yang membuat tanteku menangis menjadi-jadi, aku dipeluk. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi – drama apa yang kembali terjadi, yang aku harap bahwa Ibuku baik-baik saja.

Namun harapan seorang anak kecil tidak didengar, beberapa garis berwarna hitam dan kuning – yang aku kenal kini itu adalah police line – menhiasi rumahku. Aku digendong oleh seseorang bertubuh besar dan dia adalah Suami dari tanteku. Beberapa bercak darah seperti sengaja di guyurkan. Bau anyir semakin terasa ketika aku memasuki kamar Ibuku.

Sebuah jasad yang aku tahu itu Ibuku terbujur kaku dengan darah yang bersimbah kemana-mana. Aku menjerit, satu tangan menghalangi padanganku agar aku tak melihat pemandangan mengerikan itu. Tanteku menjerit, om ku meringis.

Bukan hanya itu pemandangan yang aku temui, namun dalang dibalik pembunuhan itu juga tergantung mengambang tak bernyawa. Iya dia adalah ayahku – yang lebih memilih untuk bunuh diri setelah menikam Ibuku. Dan gejolak marah aku salurkan dengan wajah kebencian ketika aku melihatnya tergantung.

Kejadian memilukkan itu melahirkan sikap dingin kepadaku, sikap seseorang yang ketakutan bahkan menjadi sebuah syndrome . Aku menjadi pribadi yang selalu mengurung diri dan terkadang bersikap tempramental. Aku tak suka bergaul, aku hanya dekat dengan beberapa teman. Salah satunya Dylan. Jika ketakutannku sedang kumat, aku ditenangkan olehnya.

Jika aku memilih, aku lebih baik tidak untuk dilahirkan. Namun kehidupan harus tetap berjalan, dan aku diasuh oleh Tante Irma, adik dari Ibuku dengan seorang suami yang baik yaitu Om Ari juga dengan sepupuku yang hanya berbeda satu tahun denganku, Dylan.

Mereka sama sekali tidak membedakan ku dengan Dylan, jika Dylan diberikan hadiah – begitupun denganku. Aku juga mendapat kebahagiaan dan kasih sayang yang sama. Peran tante Irma yang menjadi sosok Ibu berhasil, namun tetap saja terkadang aku meridukan Ibuku, namun tidak untuk ayahku. Begitu juga dengan Om Ari yang selalu sigap dengan wibawanya sebagai ayah untuk aku dan Dylan.

Tante Irma, adalah wanita karir. Tante Irma seorang designer. Karyanya sudah diakui di tanah air. Om Ari juga tidak kalah sibuk dengan Tante Irma. Om Ari tidak pernah tinggal berlama-lama dirumah, karena pekerjaannya sebagai surveyer perusahaan. Tugasnya adalah wara-wiri ke beberapa negara untuk memastikan saham perusahaan.

Ketika aku dan Dylan kecil, kita selalu menghabiskan waktu berdua. Diasuh oleh Bi Juju, asisten rumah tangga Tante Irma. Terkadang aku yang menjaga Dylan begitupun sebaliknya. Dylan menerima aku tanpa kurang begitujuga dengan keluarga besar nya. Semua menyayangiku seperti mereka menyayangi Dylan . Tidak kurang.

Beberapa kali pun Dylan selalu ada disampingku ketika aku dibawa ke psikiater. Mengobati trauma yang aku alami, perlahan semua berangsur pulih namun tidak memastikan bahawa aku sembuh. Karena ingatan-ingatan mengerikan itu masih terpatri dalam pikir. Pada dasarnya, Dylan adalah segalanya bagiku.

Dari kita kecil kita selalu dalam sekolah yang sama, satu bangku pula. Walau sesekali kita saling berjauhan karena perbedaan pendapat atau hanya aku merusak mainan Dylan , namun pada akhirnya kita akrab lagi. Tante Irma selalu mengajari tentang kebersamaan, bagaimana kebersamaan itu dibangun, diciptakan dan dijalani.

Aku selalu menjadi bahan pembicaraan teman-temanku bahkan orangtua murid ketika aku berpapasan dengan mereka. Entah apa yang mereka pikirkan, jika dengan cara membicarakan kerusakan keluarga orang lain menjadi kebiasaan yang didengar oleh anak mereka, lantas kenapa mereka tidak terima ketika anak mereka mengikuti habit mereka yang terkesan negatif.

Oh jadi itu anak yang terlantar, kasian yah

Masih mending ada yang ngurus. Mana yang ngurus orang kaya lagi

Ih kalau saya sih ogah ngurus anak dari keluarga sinting

Kalau saya sih lebih kasian sama anak kandungnya, merasa di abaikan

Waktu itu aku harus melumat mentah-mentah apa yang orang dewasa katakan. Karena aku pikir semua yang orang dewasa katakan itu benar. Nyatanya hanya sebatas kiasan dimana mereka ingin terlihat sempurna oleh orang lain dengan menjatuhkan orang lain. Ironis.

Aku juga pernah dipanggil beberapa kali ke ruangan kepala sekolah waktu SMA, hal kecil sebenarnya. Waktu itu aku pulang sendiri, Dylan sedang sakit. Aku dihadang oleh beberapa yang aku tahu itu adalah anak kelas 3.

Oh jadi ini anak pungut yang sok kecakepan deketin si Rasty

Geus lah, hajar weh budak kos kiyeu mah!

Rasty adalah teman sekelasku waktu SMA. Dia cantik, tidak hanya teman satu kelas yang suka dengannya, namun juga dengan senior. Salah satunya adalah Raka Cs. Seorang yang dikenal sebagai orang kaya. Dan aku sedang berhadapan dengannya, beberapa teman nya melempar bogem mentah kepadaku.

Aku berusaha membalas, satu kali dua kali aku berhasil mendaratkan pukulan ku. Namun dua tanganku kalah dengan pukulan serta tendangan Raka dan ke enam temannya. Dan akhirnya aku tumbang.

Esoknya tante Irma dipanggil kepala sekolah terkait dengan kasus pemukulan yang terjadi. Kepala sekolah berdalih bahwa aku yang salah, aku membela diri namun mereka tak ingin dengar. Orang tua Raka sudah mengatur semua dengan rekayasa suap.

Aku tahu ketika orang-orang yang bermasalah dengan Raka pun mengalami hal yang sama. Krisis kepercayaan orang biasa. Toh jikapun aku mau, aku bisa saja melakukan apa yang dilakukan orang tua Raka.

Tante Irma bukan orang biasa, dia punya segala. Namun aku tak ingin menjadi culas dan pandai ber drama untuk orang yang tulus. Aku memang tidak diajakrkan bagaimana itu rasa kasih sayang, tapi aku masih tahu bahwa kejujuran masih berlaku walau dipandang sebelah mata.

Ketika masuk perguruan tinggi, Aku dan Dylan berbeda jurusan. Ini kali pertamanya kita terpisah, Dylan memutuskan untuk berkuliah di Amerika mengambil jurusan Psikologi sedangkan aku lebih memilih Ilmu Komunikasi karena ketertarikanku terhadap dunia photografer. Aku menyukai seni foto dan hal-hal dengan dunia membidik.

Entah perasaan itu hadir darimana ketika aku lebih menyukai bergaul dengan alam dalam satu frame lensa. Karena jika dunia nyata tidak menerimaku, tak masalah jika aku diterima oleh hal-hal indah dalam lensaku.

Ketika aku lulus SMA, tante Irma memberiku sebuah kamera foto dan dari sanalah aku mulai membidik yang aku suka. Sedikit banyak aku mulai melupakan tentang kegetiran hidupku. Aku ingin berlama-lama dengan alam melalui lensa kamera. Ada rasa bahagia yang tak terkira ketika aku berhasil menyajikan keindahan semesta, ketergantungan itu berhasil membuatku candu hingga kini.

To Be A Continued...




RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now