Pergi

69 8 2
                                    

Pukul 08.00 aku bersiap-siap menuju bandara. Percakapan dengan Naura semalam menyisakan luka. Menyisakan rindu meski aku belum beranjak dari kota ini.
Tapi siapa yang tau? Rindu itu menghujam bak pisau belati. Lengkap sudah. Aku mengingat kembali apakah ada barang-barangku yang tertinggal. Berusaha mengingatnya.

"Assalamu'alaikum.." Seseorang mengucap salam dari luar sana. Aku sibuk mengecek barang-barangku. Berharap tidak ada yang tertinggal. Berharap kenangan itu tidak tertinggal.

"Om, Rezanya ada?" Tanya seseorang dari luar kamarku.

Aku berusaha untuk mengenali suaranya. Suara itu suara Ale. Aku bergegas keluar dengan membawa satu tas ransel milikku. Saat aku buka pintu, ada rasa sedih kembali. Kenapa Ale membawa Naura?Ini pertemuan terakhir aku dengannya. Mungkin sengaja Naura ingin berjumpa denganku sebelum berpisah. Bukankah aku terlalu percaya diri?

"Ini aku sama Naura. Naura bantu bawa barang-barangku dan Fikri sudah menunggu di
bandara." Ucap Ale.

Pertemuan dua mata Aku dan Naura. Pertemuan laki-laki yang bisa mengucap kata 'tunggu' dan wanita yang bersedia 'menunggu'. Kita dua nadi tapi dengan denyut sama. Kita manusia yang siap berkorban dengan perasaan masing-masing.
Aku melihat
mata sipit Naura, ada sendu yang ia singkap dalam senyum. Bagaimanapun nanti, aku
berharap Naura hanya untukku.

"Oh iya, Za. Mau bareng Ale ya? Hati-hati ya."

Matanya tak bisa berbohong. Wajahnya yang memerah tak bisa dijadikan tabir untuk kebohongannya. Ulas senyumnya seolah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja. Aku pun tidak menyangka dia akan datang ke rumah untuk melihatku pergi dari
kota ini. Pergi sementara. Aku berjanji akan kembali Naura. Aku berjanji.

Rasanya ingin sekali saja, biarkan aku tersungkur. Biarkan aku terlihat lemah. Tapi, tak bisa. Dia begitu tegar dan aku yang terlalu lemah. Semuanya akan baik-baik saja. Sesederhana itu harapku.

"Naura mau ikut ke bandara?"
Aku mulai membuka percakapan penting. Aku tak mau lama berbasa-basi. Ini waktu terakhirku untuk menanyakan hal yang ada di pikiranku. Setelah ini, aku akan membutuhkan waktu lama untuk melihat wajah teduhnya.

Dia menatap Ale. Berharap Ale akan memberikan jawaban atas pertanyaanku.

Aleesya menatap Naura, meyakinkan bahwa ia juga akan ikut mengantarnya.

"Iya, Insya Allah aku ikut." Ucapnya.

Ada rasa lega dihatiku. Ketika Ale mengetahuivbahwa Naura akan
mengantarkannya ke bandara, akul ebih tau kalau Naura pergi ke bandara untuk mengantarku. Bukan mengantarkan Ale. 'Bukankah benar begitu?' Ingin sekali aku lontarkan pertanyaan itu. Aku ingin tau apa jawabnya.

"Ada Naura juga?Kirain Aleesya sendirian." Mamah ku datang menemui Ale dan Naura.

Naura dan Ale langsung bersalaman dengan Mamahku.

"Ma,Reza pamit ya.."

Aku mencium punggung tangan ibuku dan tak lama, ayahku juga ikut bergabung bersama.

Kami pergi dengan melambaikan tangan. Ada hal yang aku tidak suka saat ini. Barang Ale tampak banyak, dia bawa koper, ransel, dan tas laptop. Tapi aku senang, keribetan Ale terbantu oleh Naura. Terlebih, Naura ikut mengantar kami ke bandara.
Kami langsung menuju stasiun ke arah bandara.

Sepanjang perjalanan tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut Naura. Dia sibuk melihat ke arah jendela. Sedangkan aku sibuk dengan perasaanku.

"Naura, mau roti gak?" Tanya Ale. Sedikit memecah keheningan.

"Boleh, tapi yang coklat." Ucapnya.
Aku masih terdiam berusaha membebaskan pikiran-pikiran yang rumit untuk diselesaikan.

"Semuanya akan baik-baik saja Reza.. Akan baik-baik saja."

SkalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang