Memang Nita ini kadang-kadang bertingkah seperti anak kecil dan tidak memperhatikan sekitarnya. Namun jika sudah berhadapan dengan pasien, Nita bisa berubah menjadi sosok yang benar-benar berdeba. Tidak ada lagi sosok anak kecil yang meledak-ledak, yang tertinggal hanyalah sosok wanita dewasa yang lemah lembut.

"Ayo cepat habiskan minuman kalian, setelah itu kita pergi." Kata Dokter Alfa pada kami.

"Pergi? Pergi kemana?" baru saja aku hendak bertanya, tapi sudah di dahului oleh Nita. Ck, temanku yang satu ini, apa dia tidak bisa sedikit menjaga sikapnya di depan orang yang baru saja di kenalnya. Ya, walaupun tidak bisa di bilang Nita baru mengenal Dokter Alfa, karena bagaimanapun mereka bekerja di satu tempat yang sama.

"RA-HA-SI-A" Seandainya saat ini aku belum mempunyai suami, mungkin saja aku sudah meleleh karena melihat senyuman Dokter Alfa.

"Kau juga suster cantik, ayo cepat habiskan minumanmu, setelah itu kita pergi menemui suamimu."

***

"Rumah siapa ini?" Tanya Nita saat kami turun dari mobil Dokter Alfa.

"Nanti juga kau akan tahu." Jawab Dokter Alfa sambil menatapku dengan pandangan yang tidak dapat kuartikan.

Dalam dia aku berjala di samping Nita yang dengan khusyunya berjalan mengekori Dokter Alfa. Dan akhirnya aku melihat sosok itu, sedang berdiri di tengah-tengah ruang keluarga. Saat itu juga, rasanya jantungku akan copot karena melihat senyumannya.

Aku hampir saja pingsan ketika Dias berjalan menghampiriku dan melingkarkan lengannya di tubuhku. "Selamat datang di rumah kami Nita."

"Rumah? Rumah kalian? Dokter Dias dan Ana?! Tidak tidak mungkin, sepertinya aku sedang bermimpi." Aku hanya bisa meringis melihat kelakuan sahabatku ini. "Lalu bagaimana dengan Dokter Alfa? Bukankah Ana berpacaran dengan Dokter Alfa?" 

"Ana dengan Alfa?" Kali ini Dias yang menatapku dengan tatapan 'aku butuh penjelasan'.

Dan setelah itu semuanya berlalu dengan cepat, mulai dari Dokter Alfa yang menjelaskan soal kesalah pahaman Nita di cafe tadi lalu di lanjutkan Dias yang mengabarkan kabar pernikahan kami berdua hingga Nita yang tanpa malu menjerit-jerit histeris. Sampai akhirnya kami berempat, aku, Dias, Nita dan Dokter Alfa duduk di meja makan untuk merayakan pernikan aku dan Dias.

"Ana, sampai detik ini aku masih tidak percaya kau telah menikah! Sementara aku sahabatmu tercinta ini memiliki pacar saja tidak." Mendengar ucapan Nita di tambah dengan ekspresinya yang terlalu berlebihan, mau tidak mau tawa kami semua pecah.

***

"Kenapa melamun seperti itu?" Tanya Dias yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Sudah beberapa kali aku menegurnya agar tidak keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk sepereti itu, bukannya menurutiku, Dias malah berkilah itu adalah kebiasaannya dari sebelum menikah, jadi sulit untuk dihilangkan.

"Tidak apa-apa. hanya sedang berfikir."

"Oh.." Kemudian tidak ada tanggapan lagi darinya. Dan aku kembali memandangi langit-langit kamarku. Ah senangnya, mulai hari ini hingga seterusnya aku tidak perlu lagi menyembunyikan statusku ini dari Nita. Rasanya ada satu beban berat yang akhirnya terangkat dari punggungku.

"Sudah malam cepat tidur, bukankah besok kau ada sift pagi." Kata Dias yang sudah berbaring di sampingku dan mulai memejamkan matanya.

Dalam diam, aku memperhatikan wajah suamiku yang baru mulai terlelap ini. Ingatan tentang acara tadi sorepun kembali melintas dikepalaku. Bagaimana dia mau repot-repot menyiapkan perayaan seperti tadi. Mungkin acara tadi memang terlihat sederhana, tapi bagiku acara itu memiliki arti yang luar biasa.

Selama ini selain Nita dan keluarganya, tidak pernah ada orang yang repot-repot membuat acara seperti itu untukku. Bahkan om dan tanteku sendiri, bagi mereka aku hanyalah benalu yang mengusik ketenangan hidup mereka. Bahkan saat aku dengan tiba-tiba menikah dengan Dias, mereka sama sekali tidak mau repot-repot menaruh curiga pada Dias dan keluarganya, bagi mereka yang terpenting adalah menyingkirkanku secepatnya sebagai tanggung jawab mereka.

Tanpa sadar aku merapihkan anak rambut yang sedikit menutupi matanya. "Terimakasih" Baru saja aku akan kembali menarik tangaku saat Dias tiba-tiba membuka matanya.

"Kenapa menangis?" Aku baru sadar aku menangis ketika Dias menghapus cairan bening itu dari sudut mataku.

"Maaf menggung tidurmu." Hanya itu yang dapat kukatakan pada Dias lalu memalingkan wajahku ke arah lain. Aku tidak ingin dia melihatku yang sedang rapuh seperti ini.

Rasanya seluruh oksigen di ruangan ini menghilang ketika Dias menarikku dalam pelukannya dan mulai menciumi tengkukku.

"Katakan siapa yang telah membuatmu menangis." Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku bisa merasakan sedikit amarah dalam suaranya.

"Ti-tidak ada, aku hanya- sudahlah, ini sudah malam ayo kita ti-" Sungguh aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku ketika melihat Dias. Pandangan kami terkunci satu sama lain.

Aku tidak mengingat siapa yang pertama kali memutuskan kontka mata diantara kami, yang aku tahu kini aku sudah berada dipelukan Dias.

Dan malam ini, aku telah menjadi seorang istri yang sesungguhnya.

Belahan Jiwa - Say LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang