Kedua bahunya menurun bersamaan dengan helaan napas berat, tidak terasa sudah dua minggu dia memutuskan untuk pindah tempat. Dua minggu sudah pertengkaran yang sebenarnya tidak bersumbu itu terjadi. Dan dua minggu juga rasanya ia kehilangan.

Anthony tak bisa menampik sudut bibirnya untuk tersenyum ketika mendapati coretan dinding di kamar Ihsan yang tertangkap matanya. Hanya sekedar tulisan iseng yang terkesan berantakan dari Jonatan.

Ihsan itu lambe, Ony itu pendek, cerewet tapi gemesin. Jojo suka.



— Mantan Roomatenya.

Penyesalan itu datang terlambat dan harusnya Anthony tahu itu. Dua minggu itu bukan waku yang sedikit untuk membiasakan diri dari segala kebiasaan yang sudah sering dilakoni. Ingin rasanya untuk mengubah waktu setidaknya tidak membuat segalanya menjadi serunyam dan sekeruh ini. Tapi mau bagaimana lagi, tidak bisa disalahkan juga kalau Anthony hanya merasa kecewa atas apa yang Jonatan katakan tempo lalu.

Atau pantaskah ia kecewa atas pengakuan cinta dari seorang Jonatan?  Lelaki paling ia sayangi seperti adik sendiri yang tahu-tahu menambat hati padanya.

Anthony hanya merasa dipermainkan, ia hanya merasa jika perlakuan Jonatan padanya selama ini hanyalah dilandasi oleh tujuan bukannya rasa alamiah yang harusnya tanpa mengharap balasan.

•••••

Entah sudah berapa kali Jonatan bangun, kemudian tidur dan lagi-lagi berguling di tempat tidurnya. Menghela napas berat lalu membuangnya kasar. Dirinya kalut, kesal, galau dan benar-benar merana. Anthony segalanya bagi Jonatan, dan bagaimana bisa dirinya mampu diam-diaman begini pada pemuda berwajah oriental itu.

Ihsan pamit, sebenarnya karena lebih banyak kesalnya melihat tingkah Jonathan yang tak kunjung bergerak. Bahkan mulut Ihsan sudah berbui menasihati sih paling muda, dari memberi ceramahan ala ustadz sampai memberi contoh melalui film hidayah.

Tapi tetap saja kalau Jonathannya aja bahkan nggak berani bertindak semuanya sia-sia. Alih-alih memberi saran, pada akhirnya Ihsan memilih pergi, katanya sih numpang tidur ketempat Kevin.

"Lo yang udah memulai, jadi Lo juga yang harus mengakhiri Jo. Anthony itu batu, jadi emang harus Lo yang memulai. Ony cuma belom sadar, dan ini waktunya buat Lo untuk ngebikin dia sadar." ucapan terakhir Ihsan dua puluh menit lalu masih terlintas dan berputar-putar dibenaknya. Terlalu banyak pertimbangan yang sebenarnya mencondong ke arah ketakutan. Jonathan hanya semakin takut kalau Anthony malah semakin membencinya, tapi apa yang diucapkan Ihsan memang benar. Ia harus mencobanya.

Maka dari itu Jonathan langsung bangkit, menggaet jaketnya asal sambil menatap arlojinya. "Setengah sepuluh, belum kemaleman kali ya." lalu segera menutup pintu kamarnya.

Jarak kamar Jonathan dengan kamar Ihsan yang sejak dua minggu lalu menjadi milik Anthony, hanya beda lima pintu jadi cukup cepat untuk ke kamar Anthony.

"Gedor gak ya, gedor.. Nggak, gedor nggak. Iya aja ah." Jonathan bermonolog, sempat tersirat keraguan sejenak namun rasanya mustahil untuk menunda lagi. Jonathan butuh kejelasan, setidaknya tidak separah ini.

Akhirnya Jonathan mengetuk pintu,

"Anjay, siapa sih ganggu aja—..., Jo- Jojo." Teriakan Anthony dari dalam seketika terhenti ketika malah wajah Jonathan yang menghadiahinya. Lidahnya seketika keluh melihat wajah Jonathan.

"Kak...,"

"Mau apa Kamu kemari? Kalau mau cari Ihsan, Ihsan nggak disini."

Jonathan mendecak, " Yakali Kak, Aku cari bang Ihsan wong bang Ihsan kan teman sekamarku, sekarang." belah bibirnya terlipat kedalam ketika sadar bahwa tidak ada alasan lain lagi bagi mereka untuk bicara.

Anthony bahkan tampak biasa saja dengan kehadirannya. Dua minggu tampaknya bukan apa-apa bagi dirinya. Jonathan mengambil napas dalam.

"Ya udah, Gue tutup pintunya—," sontak Jonathan langsung menggenggam pergelangan tangan Anthony dari knop. Menahan Anthony dari niatannya.

"Sekali. Beri Gue kesempatan Kak. sekali aja, setelah itu terserah Lo mau peduli atau nggak."

"G-gue,"

"Gue mohon, sekali aja Kak." kedua obsidian mereka bertumpu, dan jujur rasanya berat untuk menidakkan satu permohonan yang bahkan biasanya Anthony lakukan tanpa meminta alasan. Tapi, untuk kali ini rasanya sakit sekali.

Anthony menggeleng, meronta dari genggaman Jonathan.  Kedua mata doenya tertutup mencoba mengingkari raut wajah kelam Jonathan. "Gue, Gue nggak bisa Jo. Kamu pergi aja."

"Sebenci itukah Kakak sama Gue?  Setidak suka itukah Kakak ngedengar pengakuan Gue kemarin?,"

Lagi-lagi pertanyaan retorik dari Jonathan semakin menambah rasa sakit dan kecewa pada dirinya. Anthony tidak mengerti, seharusnya yang berada diposisi ini bukan dirinya, kan?

"Lupain Kak. Lupain semua yang Gue bilang kemarin. Gue bercanda Kak, Gue nggak bener-bener suka sama Lo. Gue cuma taruhan, ya ya Gue cuma taruhan ama Bang Ihsan, Kak?. Gue nggak sungguhan."

"–Jo, Gue.."

"Lupain kalo itu yang ngebikin Lo jauhin Gue kak, Lupain itu semua. Gue yang tolol kak, nggak seharusnya Gue lancang ngomong begitu ama Lo, ya kan? Gue aja mungkin yang terlalu baper. Ah, cowok macem apa Gue. Yakali Gue cowok, dibikin baper ama cowok."

"Jo–,"

Jonathan tak mempedulikan bagaimana ekspresi Anthony sekarang, kepalanya benar-benar sakit bahkan rasanya untuk berpikir jernih pun Jonathan tak tahu caranya. "Lupain apa yang Gue bilang Kak, udah nggak usah ambil pusing sama ucapan Gue. Gue nggak masalah, kalo itu bikin Lo bisa–"

"–JONATAN STOP!"

Seketika teriakan dari Anthony menghentikan semuanya. Jujur Jonatan tidak mengerti mau bagaimana lagi, dia sungguh kalut.

"Gue, Gue cuma mau Lo balik Kak. Gue, Gue.. Ah nggak, Jojo kangen Ony."

Anthony kembali menutup matanya rapat-rapat;  dirinya benar-benar tak sanggup melihat bagaimana raut wajah Jonatan sekarang. Hatinya mencelos, telinganya terasa meremang sesaat mendengar bagaimana suara Jonatan yang bergetar.

"Kak, Gue mohon–"

Anthony menggeleng, dia tidak ingin mendengar sepatah apapun dari Jonatan. "Udah, udah malem. Lebih baik Kamu balik,"

"Tapi Kak,"

"Selamat malem Jo."

Dan kemudian daun pintu kamar Anthony tertutup, membiarkan bagaimana hancurnya perasaan Jonatan sekarang. Jonatan mengigit bibirnya kuat, berharap rasa sakit yang menjalar di hatinya dapat teralihkan melalui bibirnya walau nyatanya rasa sakit dan kecewa itu lebih besar membumbung melantah ruah dan menenggelamkannya.

"Perasaan Gue nggak akan pernah berubah ke Lo, Thon. Gue masih berharap."






Bersambung~

Hulay, Bagian satu selesai. Gimana gaes?  Bagus nggk?  Suka nggk sih, yuk dikomen dan vote. Maaf kalau rada aneh, soalnya belum biasa bikin fanfik lokal pake bahasa gawl :v.  Akan ada kapel lain seberiringnya waktu. Hehehe.

Hidup kapal Joting yey












DOKTRIN Where stories live. Discover now